728x90 AdSpace


  • Terbaru

    Selasa, 18 Agustus 2015

    [Peserta Lomba Menulis Surat] Angin dan Awan Harapan Indonesia 70

    Pak Presiden terhormat, separuh umur Ayah sudah habis untuk menjelaskan mengenai Indonesia padaku. Memang beliau lahir 7 tahun setelah Bung Karno membacakan teks Proklamasi bersama Bung Hatta dan Sang Saka Merah Putih jahitan Fatmawati dikibarkan. Dulu, semuanya serba susah. Cukup susah. Bahkah sangat susah, tetapi Tuhan masih memberikan kesempatan Ayah untuk bersama keluarganya walaupun suara bedir, suara orang menjerit kesakitan, hingga makian hampir membuat telinganya menjerit.

                Pak Presiden, kata Ayah dulu ketika beliau seumuran denganku, tidak ada buku, tidak ada papan tulis, tidak ada pensil, yang ada hanya batu untuk menulis dan apabila ingin menulis hal lain, maka tulisan sebelumnya harus dihapus. Kata Ayah, walaupun begitu kita semua sebagai orang yang punya akal diwajibkan untuk belajar. Tujuan Ayah tidak muluk-muluk. Hanya untuk memperbaiki masa pahit ±350 tahun lalu.

                Sebelum memulai rutinitas upacara hari Senin 10 Agustus lalu, aku duduk bersama teman sebangku. Teringat bahwa 7 hari lagi tepat 70 tahun Bung Karno dan Bung Hatta memprolamasikan “Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja”,  hasil dari tumpah darah pemuda Indonesia. Dengan secarik kertas lusuh bekas dan pulpen harga Rp 2.000,- tertuliskan 17+08+45 dan hasilnya 70. Iya, pada 17 Agustus mendatang, umur tanah air kita sampai pada pertengahan senja. Entah kapan senja itu akan terang kembali. Semoga sinar itu datang sebagai lampu untuk menerangi anak Indonesia belajar. Tahu sendiri bagaimana kondisi mereka yang tinggal di pelosok. Jangankan di pelosok, pinggiran kota saja masih ada rumah tanpa penerangan. Tidakkah para pemimpin tahu jika 10-20 tahun mendatang, kami lah yang akan melanjutkan tonggak pemerintahan tanah air ini.

                Wahai Pak Presiden, dari cerita-cerita Ayah dulu, tampaknya kita sudah sangat merdeka. Tidak ada lagi ada kolonialisme, imperialisme, kerja paksa, dll. Sejujurnya aku tidak tahu pasti apa yang dimaksud dengan Kemerdekaan Indonesia. Iya, kita sudah merdeka secara harfiah tetapi dari segi mental dan pemikiran menurutku masih jauh dari merdeka. Korupsi memang sudah menjadi budaya, untung-untung belum disahkan oleh UNESCO, kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, kriminalitas, pelanggaran HAM, pendidikan entah apa masudnya, dll. Oleh demikian, penjelasan Pak Presiden terhormat mengenai apa sebenarnya Kemerdekan Indonesia sangat kubutuhkan.

                Tak terasa Pak umur tanah air ini sudah mencapai angka 70. Tetapi kok kita masih segitu-gitu saja, masih negara berkembang.    Pak, apa 70 tahun itu waktu yang singkat untuk merangkak lebih baik? Bahkan sudah berapa generasi yang mungkin baru jadi benih ikut menanggung utang? Ketika aku belajar pelajaran IPS, katanya sumber daya alam kita melimpah dan apabila bisa dikelola dengan baik maka bisa menghidupi seluruh penduduk. Nyatanya apa Pak? Coba saja Bapak mengambil kebijakan dan sangat menegaskan pada kejujuran kepada seluruh pemimpin daerah untuk berkerja maksimal tanpa ada tikus liar berkerliaran pasti Bapak tidak perlu dihantui oleh bayang-bayang rakyat yang sedang menjerit kelaparan. Mereka tak hanya lapar isi perut, tetapi juga haus akan pendidikan yang harus diterima sebagai HAK.

                Alhamdulillah orangtua masih bisa menyekolahkanku. Tetapi bagaimana dengan anak-anak Indonesia di luar sana telah dirampas hak azasinya berdasarkan pasal 28C (2) “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi sejahteraan umat manusia”.

                Pak Presiden, ingatkah kita pada sejarah yang telah terukir dari tinta darah pejuang yang takkan pernah kering? Bukan ini yang mereka harapkan. Aku dan teman-teman Indonesiaku menaruh harapan besar untuk maju dengan pendidikan sampai menginjak awan yang selalu ditiup angin. Angin itu bagi kami bukan halangan tetapi sebagai pendingin ruangan belajar kami ditengah panasnya bumi akibat globalisasi. Pak, kami butuh jawaban Bapak dalam bentuk tindakan lanjut yang akan Bapak laksanakan.

                Kami tahu semua butuh waktu tetapi aku tidak ingin waktu itu yang merenggut setiap hak azasi teman-temanku seperti pasal 28C (2). Semoga telinga Bapak tidak bosan mendengar jeritan kami meminta hak, mata Bapak tidak pernah buta melihat rangka-rangka lusuh mereka terlihat, lidah Bapak tidak bosan menjawab pertanyaan batin yang selalu bertanya-tanya, dan hidung Bapak tidak akan mati rasa mencium bau mereka.

                Dibalik tulisanku ini, aku sepenuhnya tidak menyalahkan siapa yang sedang berkuasa. Aku hanya ingin menambah kepekaan hati sang pemimpin kita ditengah upacara 70 tahun kita nanti. Pesanku bukan untuk Pak Presiden, tetapi untuk Indonesia agar semua bisa berperan bukan hanya Pak Presiden seorang. Semoga angin itu segera bertiup, semua teman-temanku bisa dibawa ke awan menggenggam harapan bersama dengan pendidikan agar Indonesia 70 lebih baik dari Indonesia 1-69.


    Yuni Azrima

    Siswi SMAN 10 Fajar Harapan Banda Aceh Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD)
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Posting Komentar

    Item Reviewed: [Peserta Lomba Menulis Surat] Angin dan Awan Harapan Indonesia 70 Rating: 5 Reviewed By: Jingga Media
    Scroll to Top