728x90 AdSpace


  • Terbaru

    Senin, 23 Juni 2014

    [Surat Untuk Capres 2014] Kami Bukan Pelajar Bodoh

    Bapak calon presiden yang saya hormati,


    Perkenalkan, nama saya Endang Pratiwi. Saya baru saja selesai mengikuti ujian nasional SMP dan sekarang saya masih menunggu pengumuman kelulusan SMA. Saya bukan pelajar yang memahami politik pak, terlebih memahami mengenai pemerintahan. Saya bukan pelajar yang sepenuhnya mampu mengkritisi, apalagi mampu untuk berdialektika di depan umum. Saya hanya ingin menuangkan kegelisahanku pak melalui tulisan yang sangat sederhana ini.


    Sebelumnya saya sangat berterima kasih karena bapak telah berkenan membaca surat ini.Untuk itu, dalam kesempatan ini, ijinkan saya untuk menceritakan kisah salah satu teman saya yang akan ku tuangkan dalam tulisan ini sebagai bentuk luapan dari kegelisahan yang kurasakan.


    Bapak calon presiden,


    Salah satu teman saya yang bernama Ani (nama samaran) adalah siswa yang memiliki nilai mata pelajaran yang sangat rendah. Beberapa dari guru sering kali mengatakannya anak yang bodoh. Bahkan katanya, orang tuanya sering malu dan minder ketika mengikuti arisan keluarga karena Ani adalah satu-satunya keluarga yang dua kali tinggal kelas. Ani juga sering kali di ejek oleh teman-teman sehingga sering kali Ani minder dengan teman yang lain dan cenderung pendiam saat di sekolah.


    Seiring dengan berjalannya waktu, ada seorang guru baru yang datang dari kota Makassar untuk mengajar di sekolah kami. Guru tersebut membawa suasana baru di sekolah karena pembawaannya yang disukai oleh siswa-siswa sehingga sebagian besar dari siswa senang ketika guru tersebut mengajar. Di kelas, ani juga cukup senang dengan cara mengajar guru tersebut sehingga ani kembali bersemangat untuk belajar. Tapi ternyata kehadiran guru tersebut belum mampu meningkatkan nilai ujian ani.


    Ani sering kali bercerita kepada saya tentang keluh kesahnya. Dia menganggap dirinya tidak berguna karena tidak mampu membahagiakan orang tuanya. Dengan penuh haru, ani terus menceritakan berbagai kegelisahan yang ada di pikirannya. Salah satu kalimat yang tidak bisa saya lupa ketika ani bercerita adalah ‘’ apakah orang pintar itu harus di nilai dari hasil rapor ’’ ?


    Menjelang ujian nasional SMP waktu itu, ani terus belajar untuk bisa mengikuti ujian dengan lancar dan bisa lulus dengan nilai yang memuaskan. Hampir tiap malam dia berada di meja belajar untuk memahami soal detik-detik ujian nasional. Kesibukan menghampiri dirinya. Di pagi hari, Ani belajar mata pelajaran umum sampai siang hari, layaknya anak sekolah seperti biasa. Di sore hari, ani mengikuti bimbingan belajar untuk persiapan ujian nasional. Sementara di malam hari, ani (termasuk teman-teman yang lain) belajar untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian nasional. Ani begitu sibuk sehingga pikirannya difokuskan pada bagaimana agar lulus ujian nasional dengan mendapatkan nilai yang memuaskan.


    Menyibukkan diri selalu saja memberikan dampak positif dan negatif, termasuk sibuk untuk menghadapi ujian nasional. Karena terlalu sibuknya, satu minggu sebelum pelaksanaan ujian nasional, ani jatuh sakit. Menurut diagnosa dokter, Ani sakit tipes karena terlalu capek dalam melakukan kegiatan. Ani pun terancam mengikuti ujian nasional di rumah sakit. Mungkin karena terlalu bersemangatnya, ani kemudian ingin mengalahkan sakitnya itu dan mencoba untuk lekas sembuh. Tuhan menjawab doanya. Tiga hari sebelum ujian nasional, ternyata ani sembuh.


    Ibu ani juga pernah cerita kepada saya bahwa sebenarnya ani tidak sakit karena capek, tapi dia sakit karena terlalu banyak yang dipikiran. Saya lalu menafsirkan bahwa ani sakit karena terlalu banyak memikirkan persiapan ujian nasional. Dia kurang yakin bisa lulus ujian tersebut. Mungkin di pikirannya, ujian sekolah saja mendapatkan nilai yang rendah, apalagi kalau ujian nasional. Di tambah lagi beban pikiran bahwa tiga tahun sekolah ditentukan dengan tiga hari ujian. Saya sendiri sempat memikirkan hal tersebut. Memikirkan bahwa mengapa kami sebagai pelajar harus dijejali dengan ujian yang begitu rumit yang jelas-jelas telah banyak memberikan dampak negatif secara psikologis bagi pelajar.


    Singkat cerita, pengumuman kelulusan ujian nasional akan di laksanakan. Semua siswa berkumpul ditaman dengan wajah bercampur baur, antara haru, deg-degkan, dan sedih. Saya melihat wajah beberapa teman saya tidak menampakkan wajah keriangan. Maklum, waktu itu adalah momen paling menentukan masa depan. Hari itu adalah hari yang menentukan apakah kami lulus atau tidak. Hari itu pula yang menentukan apakah ani mampu menjadi pelajar yang bisa memantaskan dirinya untuk lulus.


    Satu persatu siswa di panggil kedepan untuk mengambil amplop yang berisikan dua pilihan, lulus atau tidak lulus. Teman lain yang sudah di panggil namanya lekas merobek amplop tersebut dan melompat-lompat sebagai bentuk keriangan karena telah lulus. Saya sendiri turut ikut dalam keriangan tersebut karena dinyatakan lulus. Sementara ani yang dipanggil setelah nama saya tampak sangat sedih, bahkan sempat pingsan. Ani tidak lulus. Rasa haru kembali meliputi acara tersebut. Guru menangis, tak terkecuali teman-temans yang lain. Ani masih tidak sadarkan diri. Terkejut melihat kenyataan bahwa dirinya tidak lulus ujian nasional SMP.


    Perjuangan yang telah diperjuangakan ani rasanya sia-sia saja. Perjuangan bangun pagi kesekolah, perjuangan mengikuti bimbingan, sampai pada perjuangan untuk belajar hingga larut malam. Karena terlalu memaksakan dirinya, ani jatuh sakit. Dibalik pembaringan pun ani tetap bersemangat untuk berjuang agar sembuh. Dan itu diperjuangkan agar bisa mengikuti ujian nasional bersama teman-temannya. Hasilnya apa ? tidak lulus. Apakah ini yang dikatakan pembelajaran pak ? Apakah kita tega melihat drama haru, tangis dan sedih dari seorang pelajar yang tidak lulus ?


    Bapak calon presiden,


    Kisah ani adalah sebagian kecil korban sistem pendidikan yang telah banyak memakan korban. Hampir tiap tahun pak ketika ujian nasional akan digelar, diberbagai daerah, banyak siswa yang sakit, depresi, atau bahkan bunuh diri karena tidak mampu menanggung beban pikiran untuk menghadapi ujian nasional. Saya justru melihat bahwa ujian nasional dijadikan sebagai momok yang menakutkan, jauh dari kesan mendidik.


    Melalui surat ini saya ingin menyampaikan pak, bahwa kami sebagai pelajar sangat takut menghadapi ujian nasional. Perjuangan kami seakan sia-sia ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa kami tidak lulus ujian nasional. Coba bapak rasakan, bagaimana rasanya ketika sesuatu yang diperjuangkan bertahun-tahun lalu ditentukan hasilnya hanya dengan tiga hari ? Coba bapak rasakan pak, bagaimana rasanya menjadi siswa yang tiap hari bangun pagi lalu mengikuti pelajaran yang super padat sampai siang. Coba alami pak, bagaimana rasanya menjadi siswa yang sering kali di katakan bodoh ketika mendapat nilai mata pelajaran yang rendah.


    Saya tidak tahu pak bagaimana caranya menjadi pelajar yang baik. Ketika kami tidak mampu melulusi satu mata pelajaran tertentu, kami lalu dikatakan bodoh. Kami seakan-akan dibangun pikirannya untuk menjadi siswa yang pintar berdasarkan nilai-nilai mata pelajaran yang tinggi. Sementara di satu sisi beberapa siswa yang mendapatkan nilai yang tinggi --yang disanjung oleh guru, teman-teman dan orang tua-- sering kali menyontek catatan ketika ujian berlangsung. Apakah itu yang dikatakan pelajar yang baik pak ?


    Proses sering kali kurang dihargai sementara hasil selalu menjadi tujuan utama. Mungkin itu yang selalu ada dipikiran kami pak, karena selama ini pikiran itulah yang terus dibangun, bagaimana agar mendapat hasil yang maksimal dengan mendapatkan nilai yang tinggi. Kami jarang sekali diajarkan bagaimana menjalani proses yang baik agar hasilnya pun akan menjadi baik. Sementara siswa yang menjalani proses dengan baik dan bersikap jujur ketika ujian (tidak menyontek) justru sering di kucilkan oleh teman-teman yang lain. Rasanya untuk menjadi siswa yang baik saja sangat sulit.


    Bapak calon presiden, apakah untuk menjadi pelajar yang baik itu harus pintar secara akademik ? apakah untuk mendapatkan hasil yang baik kita harus menempuh jalan apapun ? saya sering mendapati pak, siswa yang berprestasi di bidang olahraga dan seni tapi nilai-nilainya cukup rendah. Saya juga sering membaca kisah tokoh-tokoh sukses yang nilai mata pelajarannya rendah pak.


    Saya mewakili beberapa siswa berharap bahwa kelak bapak calon presiden yang nantinya menjadi presiden (siapapun itu) dapat menghilangkan stigma bodoh terhadap pelajar. Tolong bapak berlakukan sistem yang berupaya untuk menghilangkan stigma negative (siswa bodoh berdasar nilai akademik) dengan menilai kepandaian berdasarkan keahlian masing-masing, bukan melulu kecerdasan akademik saja.


    Saya berharap, kehadiran bapak bisa menjadi solusi terhadap permasalahan ini. Memberikan kami sebagai pelajar pemahaman untuk menjadi siswa yang baik. Kami tidak ingin kelak generasi masa depan Indonesia dipenuhi dengan para pemimpin yang sering ‘menyontek’ dan mendapatkan ‘nilai yang tinggi’ dengan cara-cara yang instan. Itulah kekhawatiranku pak. Saya khawatir kelak pelajar kita sebagai generasi penerus menjadi manusia yang memiliki karakter yang buruk. Untuk itu, siapapun presidennya kelak, tolong bapak perbaiki system pendidikan di Indonesia pak.


    Saya hanya seorang pelajar pak yang berkewajiban untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya. Saya juga memiliki mimpi pak, layaknya pelajar lain pada umumnya. Bersama dengan teman-teman, kami menggantung mimpi tentang Indonesia yang lebih baik di masa depan. Tolong pak, jangan jatuhkan mimpi itu kejurang yang paling dalam. Bantu kami pak, jangan hancurkan harapan kami untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu. Besok pagi, kami akan terbangun dari tidur kami dan mewujudkan mimpi-mimpi itu. Besok pagi pula, fajar akan terbit memberikan harapan bagi Indonesia yang lebih baik, dan harapan itu ada di pundak bapak.


    Demikian surat ini saya tuliskan pak. Terima kasih telah membaca surat yang sangat sederhana ini. Mohon maaf kalau ada kata-kata yang menyinggung pak. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.



    Polewali, 20 Juni 2014



    ENDANG PRATIWI


    Siswi SMAN 3 Polewali Provinsi Sulawesi Barat

    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Posting Komentar

    Item Reviewed: [Surat Untuk Capres 2014] Kami Bukan Pelajar Bodoh Rating: 5 Reviewed By: Jingga Media
    Scroll to Top