728x90 AdSpace


  • Terbaru

    Jumat, 20 Juni 2014

    [Surat Untuk Capres 2014] Diorama Indonesia: Saat “Uang” Ikut bertindak (I)

                Saya tidak tahu harus memulai semuanya dari mana tapi saya berharap bisa membawa pembaca terbang kembali ke sebuah negeri yang kita semua rindukan.


                Masa-masa kecil mungkin adalah masa yang paling dirindukan oleh setiap orang. Saat waktu dapat berputar sesuka hatinya dan kita hanya perlu menikmatinya dengan bermain, bernyanyi, dan tertawa riang sepanjang hari. Bebas dari opini dan fakta yang beterbaran dimanapun. Mungkin masa itu juga yang sedang dirindukan oleh ibu pertiwi kita tercinta. Mungkin dari alam yang tidak pernah kita singgahi, banyak orang sedang mempertanyakan, apa yang sebenarnya kita perdebatkan? Apa yang sedang kita cari dari kehidupan ini?


                Mungkin hanya satu jawaban dari semua itu yaitu keadilan. Jawaban ini adalah jawaban yang muncul dari bibir mungkin rakyat jelata yang haus akan keadilan namun saya tidak menjamin hal itu sama bagi masyakat beruang lainnya. Adil itu memang tidak rata. Adil itu memang tidak akan pernah sama. Tapi bagaimana jika hal itu menyangkut masa depan seseorang? Apakah manusiawi jika sebuah benda kecil dapat memusnahkan masa depan seseorang yang sangat berharga?


                Dari penjabaran saya diatas, semua pembaca mungkin merasa kesulitan untuk menerjemahkannya. Langsung saja saya akan bercermin dari pengalaman kakak kelas saya. Saya hidup dilingkungan asrama dan saya mengetahui setiap detail perjuangan dari mereka. Jadi barang siapapun yang membaca tidak perlu khawatir mengenai kebenaran hal yang akan saya ceritakan. Kakak kelas saya menghabiskan waktu satu tahun terakhir mereka disekolah untuk berjuang agar tuntas dalam euforia tahunan Ujian Nasional. Seakan waktu pun lelah memperingatkan mereka untuk berhenti barang sejenak untuk merelaksasi badan mereka. Saya sebagai adik kelas mengapresiasi mereka dengan memberi semangat. Ujian Nasional pun berjalan dengan sangat lancar dan guru dari sekolah lain memuji kedisiplinan dan keketatan pelaksaaan Ujian Nasional disini. Mereka mengaku belum pernah melihat pemandangan seperti itu di sekolah lain. Kepala Sekolah saya hanya membalas sanjungan itu dengan mengatakan bahwa mereka sudah terlatih saat mengikuti Ujian Internasional.


                Saat menanti hasil Ujian Nasional, saya cukup berdebar-debar juga dibuatnya. Ternyata, perjuangan itu berbuah manis dan siswa sebanyak 81 lulus 100%. Saya sangat bahagia termasuk guru-guru saya. Saya bangga menjadi bagian dari mereka yang selalu mengedepankan proses ketimbang melihat hasil. Di sisi lain, sesuatu menyayat hati saya saat mendengar berita yang bersliweran dimedia cetak dan media online. Peraih nilai UN tertinggi dan blablablabla. Pernahkah sekali saja media massa menanyakan apakah hal itu murni? Dan beranikah mereka bertanggung jawab atas jawaban tersebut?


                Jujur saya sangat kecewa. Begitu juga saat melihat tatapan kekhawatiran saat nanti kakak-kakak saya mengatakan nilai yang mereka peroleh. Ya, memang benar sebuah kebanggan TERSENDIRIdapat menuntaskan semua ujian itu dengan jujur. Akan tetapi, pertanyaannya sekarang, masih adakah orang yang mempercayai itu? Orang-orang yang selalu mengedepankan proses ketimbang mengagung-agungkan hasil. Awalnya saya yakin JUJUR itu adalah sebuah KEBANGGAAN. Kemudian saya berpikir, akankah kelak proses itu berani meneriakkan dirinya saat saya mencari perguruan tinggi? Apakah semua orang bisa mendengar teriakan dari sebuah kata kecil yaitu ‘PROSES’? Atau mungkin ia akan menghilang dengan satu hentakan yang bernama ‘HASIL’. Ya, hasil yang diperoleh dengan segala cara tanpa memerdulikan hal itu benar atau salah.


                Itulah seklumit contoh ketidakadilan yang saya rasakan. Sama seperti saat seorang Ibu yang tega mengugurkan kandungannya. Alhasil ia tidak akan tahu kemampuan yang ada dalam diri anaknya. Begitulah kejujuran itu dimasyarakat. Menghilang sebelum ia sempat menampakkan diri. Semua proses itu memerlukan waktu dan bagaimana jika semua orang telah bosan menunggu waktu itu datang. Masih hangat dipikiran saya tentang Sri Mulyani yang akhirnya pindah bekerja di World Bank. Berdasarkan isu yang saya dengar, ia pergi untuk mendapatkan pengakuan yang lebih layak dan tidak didesak oleh perbuatan yang dilarang oleh Agama.


                Saya tidak tahu kepastian berita tersebut tapi saya membenarkan semuanya. Tapi saya akan membenarkan hal itu. Lebih baik mengabdi di negeri yang bisa memberikan penghargaan atas kemampuan MURNI masyarakatnya. Semua hal itu tidak ada yang mustahil. Tidak ada yang bisa menebak, siapa saja bisa menjadi milioner jika ia benar-benar mendapatkan kepercayaan dan penghargaan dari kemampuan yang ia miliki.


                Surat ini saya peruntukkan untuk PEMIMPIN Indonesia nantinya. Siapapun itu. Saya dari sebuah lahan kering di sebuah desa hanya bisa berharap Bapak membaca dan merenungkannya lagi. Saya menyadari keterbatasan penjabaran saya. Maka dari ketentuan yang diperbolehkan mengirim lebih dari dua naskah, saya akan melanjutkan cerita ini di surat berikutnya.


    Dari,


    NI MADE WIDYA SUKMA SANTI


    Siswi SMAN Bali Mandara Kabupaten Buleleng Provinsi Bali

    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Posting Komentar

    Item Reviewed: [Surat Untuk Capres 2014] Diorama Indonesia: Saat “Uang” Ikut bertindak (I) Rating: 5 Reviewed By: Jingga Media
    Scroll to Top