Probolinggo, 10 Agustus 2015
Teruntuk Saudaraku, Umat Muslim di Indonesia
Assalamualaikum, Brother! How’s life? Baik-baik saja kan? Yup, semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Amin…
Melalui surat ini, sebagai saudara seiman, aku ingin bercerita mengenai pengalamanku. Well, mari kita mulai!
Waktu itu aku masih duduk di kelas IX (sembilan) SMP. Ada suatu perlombaan yang dihelat di daerah kami dan alhamdulillah aku yang diberi amanah untuk mewakili sekolah. Senangnya bukan main! Dan malangnya, aku tak dapat ngomong alias terbiasa menghadapi orang banyak untuk melakukan presentasi. Alhasil, aku harus belajar pada putri guruku yang lebih berpengalaman. Aku belajar hingga larut sore. Belum sampai satu jam berlatih, adzan ashar telah berkumandang. Segera aku menunaikan kebutuhanku menghadap kepada-Nya di masjid yang berada tepat di tengah-tengah pemukiman tempat guruku tinggal. Sehabis mengambil air wudhu dan menjalankan sholat, aku merasa tidak enak. Karena banyak jamaah yang menatapku dengan pandangan aneh. Kupikir, mungkin saat itu karena aku jamaah baru yang belum pernah ke masjid itu alias seorang stranger. Tiga tahun kemudian, aku baru tahu jawabannya.
Ya. Sejak kecil, bapak mengajariku betapa pentingnya memeluk agama itu. Dan aku diajarkan untuk menjadi orang Islam seutuhnya. Ngaji, sholat, puasa dan ibadah-ibadah lain hampir selalu dijelaskan oleh beliau. Ketika masuk TK, ternyata ada enam agama di Indonesia. Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu. Logika saya sebagai anak TK, Islam itu musti satu. Semakin tua dan akibat banyak membaca (ehmm....), ternyata banyak aliran-aliran dalam setiap agama. Tapi aku ingin membicarakan agamaku, Islam. Agar kita semua, Ikhwanul Muslimin saling bersatu. Memajukan bangsa dan mewujudkan cita-cita bersama. Mengesampingkan semangat bahwa setiap aliran itu berbeda. Dan hanya golongan tertentu yang bisa masuk jannah-Nya.
Kembali ke pengalamanku ya. Ternyata baru kuketahui akhir-akhir ini, bahwa masjid yang kutempati sholat itu hanya diperuntukkan bagi warga di sekitar pemukiman tersebut saja. Karena mereka adalah satu aliran dalam agama Islam. Anehnya, mengapa seakan-akan mereka tidak mau ada orang lain di luar aliran mereka untuk sholat di sana?
Jawabannya adalah rasa ekslusifitas, Brother! Benar. Tanpa kita sadari, banyak umat muslim saling menghujat cara ibadah dan perilaku umat muslim lainnya. Saling mengkafirkan. Padahal dulu Nabi SAW susahnya bukan main dalam menyebarkan agama Islam. Nah, kita sebagai umatnya kok mudah sekali berkata, “Kamu ini kafir! Neraka menantimu!” Astaghfirullah…
Banyak aliran merasa bahwa merekalah satu-satunya golongan yang paling benar, paling Islami dan paling-paling lainnya (semoga bukan paling bo’ongan, hehehe….). Ini menimbulkan arogansi. Bukan hanya terhadap sesama muslim, namun juga umat beragama lain. Memicu diskriminasi, permusuhan dan perpecahan. Adalah hal-hal yang harus terus dihindari untuk menjaga keabadian NKRI kedepannya.
Ada juga madrasah di kotaku yang tidak mau menaati permendiknas untuk menyanyikan lagu “Indonesia Raya” dan melaksanakan upacara bendera setiap hari Senin sebagai wahana pengenalan 4 Pilar Kebangsaan. Sampai-sampai Ibu Walikota bertanya di koran lokal kami, “Mereka sebenarnya tinggal dimana?”
Tuh, kan! Terlalu fanatik. Okelah mereka sukses sebagai umat Islam, namun gagal total sebagai manusia Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan. Bagaimana Islam bisa maju kalau umatnya seperti itu semua? Bagaimana Islam bisa dikenal dengan baik kalau sesama muslim saja saling hujat-menghina? Saya punya banyak teman ateis di facebook. Dan selalu berpikir, jangan sampai umat beragama (utamanya umat Islam) kelakuannya lebih bejat daripada mereka.
Menghina. Menghujat. Mengkafirkan. Melecehkan. Ah, seakan-akan mereka belajar agama hanya untuk hal itu saja! Mari jaga persatuan, pegang teguh perbedaan dan rangkul semua lapisan untuk Indonesia yang semakin jaya dengan Islam sebagai Rahmatan lil Alamien. Amin.
Wassalam,
Abduh Khoir
Siswa SMK Negeri 2 Kota Probolinggo Provinsi Jawa Timur
0 komentar:
Posting Komentar