Terkhusus paman-pamanku yang berprofesi sebagai supir dan kondektur bus Damri.
Perkenalkan, saya adalah salah satu siswi SMK di Bandung kelas 12 dan setiap hari saya menggunakan bus Damri sebagai kendaraan untuk pergi sekolah.
Faktor utama mengapa saya lebih memilih bus daripada kendaraan lain adalah karena letak sekolah yang dilewati bus sehingga saya hanya perlu naik bus satu kali jika dibandingkan dengan angkot yang harus naik 3 kali. Para kondektur dan supirnya pun ramah-ramah saat bertugas.
Namun, semuanya berubah ketika ada kebijakan bus gratis.
Terhitung tanggal 07 Oktober sampai 23 Desember 2013 setiap hari Senin khusus bagi para pelajar, perum Damri bekerja sama dengan Pemerintah Kota Bandung dan Baitul Mal Muamalat memberi fasilitas Damri gratis. Diawal tahun 2014, ternyata program ini diperpanjang dan dilanjutkan oleh PT.Agung Podomoro Land dan Istana Grup. Bahkan, bus sekolah gratis kini hadir 2 kali dalam seminggu yaitu Senin dan Kamis.
Siswa-siswi yang sebelumnya jarang menggunakan bus bahkan bukan pengguna bus, khusus hari Senin dan Kamis mereka berbondong-bondong naik bus bahkan rela menunggu berjam-jam untuk memanfaatkan fasilitas ini.
Memang, sebagian besar dari kami masih mengandalkan orangtua sebagai sumber uang dan dengan hadirnya program ini, tentu saja hal ini merupakan kabar baik dan disambut dengan antusias yang tinggi pula oleh para pelajar karena dengan ini, setidaknya 2 hari itu kami tak perlu mengeluarkan ongkos.
Sayangnya, dengan adanya kebijakan ini, tiba-tiba saja terdapat perubahan sikap dari para supir dan kondektur. Tak sedikit supir yang sengaja berpindah kejalur cepat atau memberhentikan busnya jauh, ketika kami menyetop. Bahkan menjalankan bis padahal beberapa dari kami masih berusaha untuk naik, padahal jelas-jelas ada kaca spion yang akan memantulkan bayangan kalau sebagian dari kami masih berusaha untuk naik. Kondekturpun begitu, seringkali mereka bergumam-gumam “Perasaan hari-hari biasa gak sepenuh ini”, “Banyak anak sekolah bikin gerah”, “Ini sih jemputan sekolah!” atau bahkan pura-pura tidak melihat ketika kami menyetop sehingga bis terus melaju.
Satu hal yang terlintas dibenak saya ketika itu adalah, apakah dengan banyaknya para siswa yang menaiki bus gratis mengakibatkan gaji mereka berkurang? Tak bisakah mereka menjalankan pekerjaan seperti biasanya dan memperlakukan kami layaknya pelanggan lain yang membayar? Bukankah tugas kondektur hanya sebatas menghitung dan melaporkan pada petugas pengontrol berapa jumlah kami yang menaiki bus dan tugas supir adalah mengantarkan para penumpangnya dengan baik, aman dan selamat? Sebegitu sulitkah bagi mereka?.
Alhamdulillahnya, seiring waktu berlalu, kejadian seperti ini mulai berkurang. Adanya nomor pengaduan membuat kami lebih mudah dalam melaporkan kejadian-kejadian yang tak mengenakkan, kecuali beberapa oknum yang masih saja ‘bandel’.
Namun, masalah lain muncul dari bapak/ibu sesama pengguna bus. Seringkali para bapak/ibu bergumam-gumam kesal ketika kami memenuhi bus, menertawakan kami dan menyindir kami dengan berbicara “Nanti mau pake seragam ah, biar gratis”. Bahkan teman saya yang saat itu kebagian tempat duduk, oleh seorang ibu yang kehabisan kursi diminta untuk berdiri saja karena gratis.
Terkadang saya pusing akan pemikiran orang-orang Indonesia. Tak hanya bus, semua hal yang berbau ‘gratis’ biasanya selalu dipandang dengan sebelah mata. Contoh lain, jamkesmas atau puskesmas. Begitu banyak syarat yang harus dipenuhi belum lagi pelayanan dari petugasnya begitu lambat, leha-leha, tidak sopan dan tentu saja tidak memuaskan. Mengurus KTPpun begitu, setidaknya harus menunggu lebih dari 2 bulan untuk selesai. Seolah-olah, hal-hal ‘gratis’ sangatlah hina dan lebih patut dimusnahkan.
Sudah saatnya mindset orang-orang Indonesia berubah, gratis bukan berarti sama sekali tidak ada uang yang masuk. Kami memang tidak mengeluarkan uang tapi pemerintah yang menanggungnya yang mungkin saja berasal dari uang rakyat juga, dari pajak yang kami bayar.
Demi kemajuan bangsa, sudah sepatutnya juga orang-orang Indonesia membuka pikiran. Bukankah dengan memberikan pelayanan yang baik dapat meningkatkan rasa cinta, bangga dan nyaman pada negeri kita ini? Bukannya menimbulkan rasa jengah dan kesal yang akhirnya malah menyebabkan semakin hilangnya rasa kasih pada negeri kita dan lebih memuja dan bangga akan negeri seberang.
Indonesiaku, langit hari-hariku, sebentar lagi kau akan menginjak usia 70. Sudah sepatutnya berdiri menjulang dan menatap gagah kedepan. Jangan menengok kebelakang, tapi jangan juga melupakan permasalahan terdahulu. Jadikanlah acuan untuk memperbaiki negeri kedepannya, menjadikan negeri yang dicintai rakyatnya.
Diah Melina Suhada
Siswi SMKN 13 Bandung Provinsi Jawa Barat
0 komentar:
Posting Komentar