Palembang, 16 Agustus 2015
Assalammu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh...
Kepada Bapak Presiden Republik Indonesia yang saya hormati...
Alhamdulillah, puji syukur saya haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan kesehatan kepada kita. Terutama Bapak yang merupakan imam kami, Bapak kami, pemimpin kami, pejuang masa depan negara kami, terhitung hingga 4 tahun ke depan. Insha Allah...
Pak Jokowi, saya selaku pendukung Bapak saat pemilihan dulu, turut merasa bangga bisa melihat anda berada di antara banyak pemimpin-pemimpin dunia di beberapa event-event kenegaraan berkelas. Bahkan ketika anda melantunkan pidato dengan tenang seakan takut mengeluarkan kata-kata yang salah atau pun terdengar tak pantas.
Kini telah hampir 1 tahun anda diresmikan menjadi presiden Republik Indonesia yang ke-7. Saya tentunya sebagai seorang pelajar telah merasakan pula pemerintahan Bapak selama jangka waktu belakangan ini. Sebenarnya tak banyak apa yang saya harapkan dahulu pada jika Bapak terpilih sebagai presiden. Hanya kemakmuran! Ya, kemakmuran seperti apa? Makmur...ialah sejahtera, bahagia... Negara makmur? Sudahkah kini kita pantas mendapat sebutan dengan 2 kata itu?
Pak, hingga kini pun saya selalu ingat dengan ucapan yang beberapa kali atau bahkan puluhan kali keluar dari mulut anda saat anda masih berstatus sebagai gubernur ibukota, yakni, “kita harus melakukan revolusi mental...” “revolusi mental...” “revolusi mental...”. Revolusi...perubahan, mental...hal yang mengenai batin... Saya kira jika batin atau hati kita para rakyat, pejabat negara, maupun seluruhnya yang tinggal secara sah di tanah nusantara ini adalah satu, sama, memiliki nurani yang sungguh-sungguh, mungkin kita bisa mendapatkan sebutan sebagai negara makmur.
Seperti kita ketahui, banyak hal-hal yang telah terjadi selama masa-masa pemerintahan Bapak. Kenaikan harga sembako dan bahan bakar minyak, maupun juga di beberapa hal lain seperti kesehatan serta pendidikan masyarakat. Bahkan yang hingga kini masih menjadi “trend”-nya adalah percampuran antara politik dan ekonomi.
Saya terkadang berfikir, Pak, memang sungguh sulit untuk memisahkan politik dan ekonomi pada negara kita, apalagi kita sendiri sebagai warga negara tidak pernah merevolusikan diri atau sadar pada keadaan negara yang semakin semrawut hingga usia ke 7 dasawarsa ini.
Ya...korupsi semakin merajalela kan, Pak? Perbuatan yang sering dianggap remeh oleh para pejabat tinggi maupun rendah, tak pernah memikirkan bahwa ini adalah sebuah kejahatan yang luar biasa. Semua warga negara sudahlah pasti benci dengan para aktor pemerintahan yang dengan seenaknya melahap kenyang uang yang bahkan bisa mengosongkan kas negara itu.
Tak hanya aktor pemerintahan, namun kami sebagai warga negara pun juga harus melakukan yang sudah seharusnya dilakukan dan tidak merugikan negara Indonesia yang telah dipertahankan serta diwariskan oleh nenek moyang kita sejak puluhan tahun ini.
Saya masih akan tetap menunggu janji-janji Bapak untuk memajukan negara kita hingga 4 tahun ke depan. Permasalahan negara kita yang rumit kini semakin berputar-putar tak karuan saja. Zaman semakin modern, teknologi semakin berkembang, semua orang berloma-lomba menginginkan hal yang membuatnya menjadi lebih maju ke depan.
Jangan pernah salahkan anak jalanan atau pun fakir miskin yang “mungkin” membuat pemerintah kerepotan atau terbebani, karena semuanya telah menjadi tanggung jawab negara terutama anda sebagai kepala negara. Namun jangan pernah pula kau fikirkan jika rakyatmu yang memang pemalas dan tak ingin melakukan perubahan untuk dirinya sendiri maupun negeri ini. Biarkan saja mereka mendekam dalam keterpurukannya hingga sadar apa yang sebenarnya telah dia berikan pada negara.
Tiba saatnya Bapak akan membina upacara pada tanggal 17 Agustus 2015 nanti. Apakah Bapak tahu? Bahwa saat Bapak dilantik tahun lalu, saya menunggu-menunggu peristiwa ini. Saya rasa harapan itu baru saja saya mimpikan, ternyata esok akan menjadi kenyataan. Yakni seorang Ir. H. Joko Widodo, akan menjadi pembina upacara di hari kemerdekaan RI ke-70 tahun ini, untuk yang pertama kalinya.
Sungguh banyak memang harapan saya kepada Bapak. Namun memang tak sepantasnya pula kami menaruh semua beban kepada Bapak, selaku seorang kepala negara. Presiden bukan Tuhan, bukan penguasa alam yang bisa mengubah nasib warga negaranya dengan semudah membalikkan telapak tangan. Sekali lagi, revolusi...revolusi mental...bukan hanya Bapak, namun juga kita sebagai warga negara yang telah menikmati alam pemberian Tuhan di negera maritim ini. Saya yakin dengan kita sadar pada kesalahan, kita akan merubah, merevolusi diri agar tahu jalan yang baik demi mempertahankan negara dan ikut membantu pemerintah dalam menjalankan tatanannya. Aamiin.
Demikian surat dari saya ini, mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata yang membuat Bapak tersinggung. Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan terima kasih. Merdeka!!!
Wassalammu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.
Eka Tiara Ningsih
Siswi SMAN 8 Palembang Provinsi Sumatra Selatan
0 komentar:
Posting Komentar