Untuk Indonesia
Negri merdeka yang masih terjajah
Selamat sore tanah airku, masih dengan senja hangat yang menemani hidupku. Ada banyak sekali hal yang ingin kuungkapkan kepadamu. Tentang negri ini yang sudah mulai rusak dan astaga, kau berhasil membuatku sakit hati. Sangat teramat sakit. Inikah kau Indonesia? Indonesia?
Ya Indonesia memang kaulah tempatku berpijak, tempatku menemukan jati diri ini, aku selalu berusaha untuk menghargai tanah ini, walau tidak semua orang melakukannya, jujur saja senja sore ini terasa dingin, sama dinginnya dengan pikiranku, terasa beku. Aku merasa kesal dengan segala hal, terutama tentangmu, ya, sungguh tentangmu. Mataku sekedar memaca info terkini, tentang dirimu lebih tepatnya bagian dirimu yang menurutku sungguh istimewa dan telah direnggut oleh mereka, kamu adalah sesuatu di zamrud khatulistiwa yang berbeda, yang terbaik, tapi sayang, kau berhasil mengecewakanku.
Kau ingat? Kau punya banyak sekali tempat indah, yang bisa menjadi kebanggaan negeri ini, dan sekarang? Semua itu hilang. Lenyap entah kemana. Dan tak ada yang peduli. Kau ingat? Kau mempunyai banyak kuliner lezat yang menggugah siapapun yang melihatnya? Dan sekarang kau malah beralih ke makanan barat yang bahkan dianggap murahan oleh negaranya sendiri. Kau ingat? Kau mempunyai tarian penuh melodi? Bahkan siapapun yang melihatnya akan terpesona oleh keelokannya, dan kau? Malah asyik dengan tarian eksotik bin remix melompat lompat sambil jungkir balik. Oya satu lagi, kau ingat? Atas manusia yang berpijak diatasmu, yang berhasil mengukir prestasi luar biasa yang bahkan tak pernah kau hargai, hingga ia memutuskan untuk pergi dan sukses di negeri orang, kau bangga teramat amat dan mengejarnya untuk kemali setengah mati.
Apakah tak pernah terpikir di benakmu bahwa lebih bangga jika sukses dalam kandang? Tidakkah kau merasa sedih? Mungkin dulu pekik merdeka yang selalu didengar, tapi sekarang? Pekik kata kata entahlah “hitz” “kece” “well” “cans” ugh, aku bingung atas keadaan ini. Tidakkah pernah kalian berpikir apa pikiran pejuang yang telah gugur dengan pesona bamu runcingnya dan kalian yang mati karena ditolak cintany, entahlah, aku juga tak bisa membayangkan seperti apa wajah pejuang itu dan tak usah dibayangkan karena raut wajah sedih, kecewa dan, ah sudahlah aku tak suka membayangkannya.
Aku ingat, beberapa hari lagi adalah hari nasional kita, hari yang paling kunanti, tapi apa daya? Disekitar rumahku tak ada perlombaan yang iasa kulihat di televise. Sedih memang, tapi mau dikata apa? Aku berharap, teramat sangat, andai waktu bisa diputar, biarlah bangsa ini merasakan gejolak semangat merdeka yang entah sekarang jejaknya terhapus kemana, aku mohon, bangkitkan hidup mereka, tapi angan anganku masih jauh dari langit, membicarakan tentang kembalinya waktu malah memuatku semakin jenuh.
Esok 17 Agustus kan tiba, aku harap negri ini benar benar merdeka, karena tak ada yang sadar bahwa kita masih terjajah, ya secara tidak langsung kita masih terjajah, masih banyak kata yang ingin kuungkapkan, terlalu banyak malah, tentang korupsi, narkoba, seks bebas, tawuran, mencuri, sampah, banjir, mos dan, ah sudahlah. Kertas ini terlalu penuh, aku pun tak sanggup untuk menulisnya, tak tahan menahan rasa kecewa atas semakin terpuruknya negri ini.
Langit sudah mulai gelap, maaf aku ribut akan hal tak penting ini, tak bermaksud mengganggu, hanya ingin mengungkapkan kesenduanku di dinginnya senja ini. Tak mengapa jika kau membuangnya setelah membacanya, karena nyatanya surat ini sangat merepotkan. Aku tahu.
Selamat malam, dari penikmat tiap senja negri yang penuh panorama.
--
Anak itu segera menghabiskan secangkir kopinya, menggulung surat itu sembari terisak dan diapungkannya kelaut, berharap agar siapapun bisa membaca dan peka atas apa yang terjadi di tanahnya.
Ageng Pangestuti
Siswi Madrasah Mualiimaat Muhammadiyah Provinsi Yogyakarta
suka bacanya ._. kata katanya enak dibaca, sukses ya! :D
BalasHapus