Maafkan kami Pak, kami tidak dapat memberikan seluruh tenaga dan aspirasi kami untuk kebangkitan Indonesia. Kami hanyalah segumpal darah yang diunggah langsung dari Indonesia. Sungguh benar, dari lubuk hati kami yang terdalam, cinta kami untuk negara seribu pulau ini terbilang besar dan menjulang. Namun, apalah jadi, sesuatu menghambat kami Pak. Kami berharap secarik surat ini mendapatkan ruang di hati Bapak.
Maafkan kami Pak, Jika memang saya tidak dapat menjalankan kurikulum yang berlaku sekarang. Andai kata, kami boleh didengar: kami sudah berusaha, memeras tulang di pagi hingga malam hari. Era ini, hidup pemuda dalam bersekolah memang semakin mudah. Namun tidak bagi limpahan materi yang terus menurus mengekang otak kami. Kami sadar dan mengakui sungguh mulia tujuan Bapak dalam menciptakan generasi penerus yang cerdas dan bijaksana. Tetapi sungguh disayangkan jika Bapak menerapkan cara seperti ini. Guru baru saja beranjak dari kursi, dengan rentang waktu sekiranya 3-5 menit, otak kami mau tak mau harus menerima materi baru sebagai tamu dan tangan kami enggan tak enggan harus merangkai beribu kata dari papan tulis maupun perkataan guru di depan. Pulang yang terlalu malam dengan pekerjaan rumah bertumpu di punggung jelas membuat kami merasakan keletihan yang luar biasa. Belum lagi hari-hari yang sewajarnya kami habis kan dengan bertergur sapa dengan keluarga dan teman terpotong dengan kekhawatiran yang melintas akan tugas yang belum selesai.
Maafkan kami Pak, bukannya kami ingin memberontak namun tidak seperti ini Bapak perlakukan kami. Kami merasa dimainkan selayaknya boneka ketika menghadapi kurikulum yang bahkan tak siap menghadap kami. Sempat kami berpikir bahwa inovasi seperti ini memang ada benarnya, tetapi tungkai kaki dan tangan kami berkata lain Pak. Dengarkah Bapak pada isak tangis pelajar di luar sana? Berandai saya, Bapak punya waktu untuk mendengar keluhan kami, mendengar air mata kami yang kian menangis. Tuntutan ini, sungguh kami tidak tahan Pak.
Maafkan kami Pak, apabila Bapak menganggap bahwa, “Sudah menjadi tanggung jawab seorang pelajar untuk belajar.” Namun bolehkah kami menyanggah, “Tidak dengan lajur seperti ini Pak.” Sejujurnya, jika saya boleh mewakilkan: Kami diminta untuk tidur 7-8 jam, namun dapatkah kami tidur dengan kondisi gelisah belum mengerjakan PR atau belum membekali diri akan ujian esok hari. Mereka yang berdasi menyanggah, “Kalian tentu dapat menyicil pelajaran tersebut pada malam hari sebelumnya, jangan gunakan sistem kebut semalam” Lucu terkadang, mendengar Bapak berdalih demikian. Jika Bapak ada waktu, kami menawarkan Bapak untuk sehari saja, duduk dalam kelas kami, menerima pelajaran yang kami terima setiap harinya. Sanggupkah Bapak untuk mengulang pelajaran yang tadi Bapak pelajari sesampai Bapak di rumah? Setelah bercampur tangan pada organisasi atau ekstrakurikuler sekolah yang berjalan sampai larut? Sampai lelah? Masih sanggupkan Bapak mengulang pelajaran tersebut setelah menyisihkan sebagian waktu untuk bersenda gurau sesaat dengan teman-teman dalam rangka menumpas sekelibat beban yang ada?
Maafkan kami Pak, bukannya saya berani melawan orang yang lebih tua. Tetapi, ini lah yang kami rasakan.
Maafkan kami Pak, apabila surat ini membuat Bapak berpikir bahwa kami adalah bibit pemberontak. Sesungguhnya, surat ini kami persembahkan hanya dengan harapan bahwa Bapak dapat sempatkan waktu untuk membaca tanpa menyita detik-detik berharga Bapak. Terima kasih saya utarakan karena telah bekerja keras dalam mendidik kami menjadi pribadi yang lebih baik dengan meluncurkan kurikulum kali ini.
Dinda Khairunnisa
Siswi SMA Insan Cendekia Alkausar, Sukabumi, Provinsi Jawa Barat
0 komentar:
Posting Komentar