Pasuruan, 17 Juni 2014
Teruntuk bapak-bapak calon presiden dan calon wakil presiden Indonesia,
Dimana pun jarak membawa kalian menyuarakan keinginan untuk memajukan Negara.
Salam hangat dari sebuah tempat dimana seorang pelajar menuliskan suara hatinya dengan dasar keinginan menyampaikan apa yang tak bisa dikeluarkan lisan.
Apakabar, Pak? Mungkin bapak-bapak capres dan cawapres ini sedang sibuk berkampanye dan menyusun visi misi demi membangun Indonesia dan mungkin sudah saatnya saya bersuara lewat surat ini atas semua unek-unek yang saya pendam lama jauh di dasar hati, meskipun saya sadar bahwa saya hanyalah seorang pelajar biasa, setidaknya saya sudah berusaha menyampaikan aspirasi saya sebagai bagian dari rakyat Indonesia yang juga memiliki hak untuk menyampaikan pendapatnya.
Dalam surat ini, saya meninjau dari beberapa segi, dari sudut pandang seorang pelajar, saya akan mengutarakan kekurangan dan kelebihan suatu masalah yang akan saya comot sebagai dasar saran saya bagi kedua capres dan cawapres.
Dari segi ekonomi, masalah yang selalu saya lihat di sekeliling saya, terutama dari berita-berita di media cetak dan sosial yang sudah menjadi bagian dari hidup seorang pelajar. Yang saya tahu, perekonomian rakyat Indonesia masih tetap sama, yang kaya ya kaya, yang miskin semakin miskin, apalagi dengan tidak adanya usaha pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja baru, fasilitas pemerintah untuk mendukung karya warga kecil cenderung diabaikan, banyak warga yang bisa membuat barang mentah, contohnya saja di kota saya sendiri, ada warga penyandang disabilitas yang tinggal di pesisir dan ia pandai membuat busi untuk sepeda motor, namun ia mengeluh pada ketua RT-nya, mau dikemanakan busi-busi yang telah ia buat? Dilihat dari contoh ini saja, ada warga yang bisa mengolah barang mentah, setelah jadi, ia kebingungan mau dibawa kemana dan diolah untuk apa barang yang ia buat, ini menunjukkan ketidakmampuan pemerintah untuk melanjutkan usahanya, pemerintah sudah memberi fasilitas dengan adanya bantuan modal untuk usaha dan juga pelatihan untuk warga pengangguran, namun kelanjutan dari usaha pemerintah sendiri tidak ada, kemampuan yang mereka dapat akhirnya terhambat.
Selanjutnya, segi politik. Jika bicara politik di Indonesia, tentunya pikiran saya, dan kebanyakan orang Indonesia, pasti langsung mengarah pada satu hal, yaitu korupsi. Korupsi seakan telah menjadi budaya yang turun-temurun di kalangan rakyat. Pejabat yang ‘meminjam’ uang rakyat tanpa pernah mengembalikannya, maraknya pungutan liar, sogok-menyogok antara pelanggar hukum dan aparat hukum, sampai guru-guru yang mengajar paruh waktu tapi menuntut gajinya dibayar penuh. Banyak sekali ya, praktik-praktik korupsi yang tidak kita sadari? Bagaimana, kedua capres dan cawapres, sudah siap dan mampu kah kalian memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya?
Yang ketiga, dari segi budaya. Indonesia ini kaya, Pak! Dari Sabang sampai Merauke, pulau-pulau yang berjajar membentuk jiwa Ibu Pertiwi, beragam budaya di setiap daerah yang berbeda, mungkinkah kita semua dapat mempertahankannya? Jujur, Pak. Generasi muda saat ini yang kebanyakan para pelajar seperti saya ini, saat ini lebih memilih menonton film action ala Hollywood daripada menonton pertunjukan wayang Ekalaya yang diadakan budayawan Indonesia, bagaimana cara kalian mengatasi hal-hal kecil yang sangat mengkhawatirkan seperti ini? Jika terus dibiarkan, bangsa Indonesia akan kehilangan budayanya lagi, tak seperti kehilangan Sipadan-Ligitan, kehilangan budaya akan sangat memalukan, seperti saat Negara tetangga kita menggunakan lagu Rasa Sayang-sayange untuk mempromosikan negaranya, kita sebagai pemilik asli lagu itu merasa malu bukan kepalang dan marah tak karuan, namun jika ditilik lagi, bukankah itu salah kita juga? Mengapa tak merasa bahwa budaya adalah hal yang teramat penting bagi Indonesia? Dengan budaya, kita dapat menarik turis asing dan menambah pendapatan Negara, dengan budaya, pamor Indonesia di mata dunia akan kembali seperti sedia kala, Indonesia yang indah, Indonesia yang ramah, Indonesia yang berbudaya.
Yang terakhir, dari segi pendidikan. Sengaja saya beri tempat paling akhir, karena saya mengenal betul segi ini, saya tumbuh bersamanya, dan semakin saya bertambah ilmu, saya semakin prihatin dengan pendidikan di Indonesia. Ketidakmerataan kualitas pendidikan di tiap daerah, kurangnya fasilitas yang memadai di pelosok desa, dan diadakannya Ujian Nasional yang menurut saya pelaksanaannya masih tak seperti yang dijanjikan, banyaknya joki yang menjual kunci jawaban yang masih sanggup menghirup udara bebas, pendistribusian soal yang terlambat, banyaknya kode soal yang menambah beban para pelajar, dimana otak para penyelenggara itu? Bukankah banyaknya kode soal semakin memperbesar kemungkinan untuk tidak jujur dalam mengerjakan soal dan semakin banyak joki yang meraup keuntungan dari menjual kunci jawaban? Ah, Pak, mungkin lebih baik UN dihapuskan dan penentuan kelulusan dikembalikan ke sekolah, daripada semakin banyak moral pelajar yang rusak karena ketidakjujuran, lagipula, sekolah lebih mengetahui kualitas siswanya, bukan?
Terlalu banyak yang saya utarakan, Pak. Saran saya, jadilah pemimpin yang baik, siapa pun yang akan menjadi pemimpin Indonesia lima tahun ke depan, haruslah orang yang mampu membina Indonesia layaknya keluarga, di tangan Anda, Pancasila tak boleh hanya sekedar lambang Negara, Indonesia harus maju seperti yang dicita-citakan nenek moyang dahulu, generasi muda akan membantu dan mendukung dengan semangat juang layaknya pahlawan dulu.
Terima kasih telah membaca surat saya, Pak. Semoga Anda sudah siap untuk memperbaiki segala kerusakan Indonesia seperti janji yang Bapak ucapkan di depan para pendukung Nusantara.
Salam,
MADINATUL MUNAWWAROH
Siswi SMAN 1 Pasuruan Provinsi Jawa Timur
0 komentar:
Posting Komentar