Yth. Presiden Republik Indonesia
Periode 2014-2019
di Jakarta
Bapak presiden yang terhormat, sering sekali kita mendengar kabar dari negeri seberang yang mengiris hati, membuat kita iri, karena prestasi-prestasi gemilang yang diraih oleh mereka. Ekonomi yang maju, teknologi yang berkembang, dan kualitas pendidikan yang baik. Sering kita merasa minder, malu karena tak mampu bersaing dengan mereka. Tapi apa penyebabnya sebenarnya? Apa karena kita memang tidak mampu? Atau karena kita bodoh?
Di sini, di negara tercinta ini, saya percaya bahwa banyak pelajar berprestasi yang mampu mengharumkan nama baik Indonesia. Tetapi tidak semuanya terlihat, entah karena latar belakang ekonomi yang buruk, sekolah yang tidak mendukung prestasi siswa, pemerintah yang kurang peduli, dan bahkan sistem pendidikan di Indonesia yang salah.
Pertama kali pelajar Indonesia memasuki jenjang pendidikan, mereka sudah dihadapkan dengan ujian dan tugas. Bukan berarti ujian dan tugas itu tidak baik. Tetapi, ujian dan tugas yang berlebihan dapat menghancurkan moral dan karakter pelajar di Indonesia.
Pada dasarnya, ujian dan tugas digunakan untuk mengukur kemampuan siswa terhadap suatu materi yang telah dipelajari. Namun pada kenyataannya, pelajar di Indonesia justru merasa terbebani. Terasa tidak adil, karena ujian yang hanya dilaksanakan selama beberapa hari justru memiliki kekuatan yang lebih daripada proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) yang ditempuh selama bertahun-tahun. Oleh karena itu, Siswa cenderung mengabaikan proses KBM dan fokus mencari cara bagaimana melalui ujian yang akan ditempuh karena terlalu banyaknya materi yang harus dipelajari.
Kita sebagai siswa dituntut untuk menguasai kurang lebih 14 mata pelajaran yang diajarkan oleh guru. Padahal seperti yang kita ketahui bahwa setiap orang mempunyai kemampuan yang berbeda-beda. Pernah saya melihat sebuah gambar yang berisikan hewan yang berbeda-beda sedang berkumpul. Dalam gambar tersebut terdapat ikan, monyet, gajah, harimau, jerapah, dll. Lalu, ada sebuah perlombaan yang digunakan untuk mengukur kemmapuan mereka. Lomba yang diadakan adalah lomba memanjat pohon. Tentu saja sang monyet yang akan menjadi pemenang dalam perlombaan tersebut. Sedangkan apa yang akan terjadi terhadap sang ikan? Sekuat apa pun ia berusaha, ia tak akan mampu memanjat pohon tersebut. Maka apa yang akan dirasakan sang ikan? Ia pasti merasa malu dan bodoh.
Hal itu pula yang pelajar Indonesia rasakan. Karena pelajar Indonesia juga manusia biasa yang mempunyai hasrat untuk bersaing, dan ingin menjadi yang lebih baik dari pelajar lain. Ketika ia merasa bahwa ia tidak mampu, sedangkan ia tahu bahwa ia harus mampu menghadapi hal tersebut, maka kecuranganlah yang timbul. Padahal belum tentu pelajar tersebut tidak mampu karena ia bodoh tetapi mungkin saja pelajar tersebut justru memiliki sebuah kemampuan yang lebih di bidang yang lain. Hal tersulit bagi pelajar tersebut untuk berkembang ialah mind set baik dari pihak orang tua maupun guru yang kurang mendukung. Sering kali caci maki dan omelan yang didapat karena nilai yang buruk. Perasaan tertekan, terbebani, itulah yang selalu menghantui pelajar. Akhirnya, pelajar tersebut justru fokus dan mati-matian untuk mengejar agar nilainya tidak tertinggal demi mencapai standar yang sudah ditetapkan. Hal tersebut justru mengakibatkan keahlian dan kemampuan sebenarnya yang dimiliki pelajar tersebut terpendam. Tak ada seorang pun yang mengetahuinya, sehingga pelajar tersebut cenderung tidak berkembang.
Pertanyaan yang sering muncul dalam benak pelajar Indonesia adalah “Apakah kita mencari ilmu atau kah kita mencari nilai?”
Ketika siswa sudah terlanjur tidak menyukai terhadap suatu pelajaran, maka akan sulit bagi siswa untuk menguasai pelajaran tersebut. Dan apabila siswa tersebut dipaksa untuk menguasainya, maka hasilnya tidak akan maksimal dan justru akan menambah beban dan tekanan dalam diri siswa. Dibandingkan harus menguasai semua pelajaran, lebih baik siswa tersebut fokus terhadap sebuah bidang yang ia sukai. Apa salahnya hanya mempelajari satu hal tetapi tanpa adanya tekanan? Apa salahnya hanya mempelajari satu hal tetapi siswa dapat berprestasi? Karena pada hakikatnya, yang kita cari bukanlah ijazah, nilai, atau pun sertifikat, melainkan ilmu yang bermanfaat.
Oleh karena itu, saya harap kepada bapak presiden yang terpilih nanti untuk tidak menutup mata terhadap pendidikan yang ada di indonesia dan dapat memikirkan serta mengevaluasi kembali kebijakan dan sistem pendidikan yang telah diterapkan di Indonesia karena nasib kami di tangan bapak presiden. Siapkah bapak membawa perubahan besar dalam dunia pendidikan?
LABIBAH ALYA HUWAIDA
Siswi SMAN 1 Pekalongan Provinsi Jawa Tengah
0 komentar:
Posting Komentar