Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Dalam surat ini saya akan mengutarakan dua hal yang selama ini menggentayangi wajah pendidikan di negara kita. Bukan sekadar opini, dua hal tersebut telah saya alami dan melekat di sekujur jiwa raga saya hingga sekarang. Selain itu, saya juga akan menceritakan nasib para pedagang kaki lima dibawah kepemimpinan Bapak Joko Widodo.
Pertama, masalah pemerataan pendidikan. Begitu banyak orang yang menyuarakan tentang topik ini. Dengan mengangkat naskah-naskah seputar keadilan, politik, diskriminasi, dan bermacam-macam 'senjata' lainnya, banyak orang melayangkan protes tentang tidak-meratanya pendidikan di negara kita. Maka dalam surat ini, saya akan kembali menyuarakannya dengan bukti nyata yang telah saya alami.
Sebelum saya tinggal di kota saya yang sekarang, saya telah menghabiskan masa kecil saya sebagai anak jalanan di kota Solo. Jalanan yang penuh dengan kekerasan, kriminalitas, dan premanisme, yang telah melumuri kehidupan saya. Barangkali Pak Joko Widodo yang pernah memimpin wong solo tahu betul tentang kondisi di sana. Dulu saya tinggal di daerah Kestalan. Ibu saya adalah seorang PKL di Banjarsari yang mengalami relokasi ke Pasar Notoharjo di daerah Semanggi. Saya yakin Pak Joko Widodo mengerti seluk beluk program relokasi tersebut. Saya pun ingat, Pak Joko Widodo beberapa kali menyamar sebagai rakyat biasa dengan pakaian sederhana untuk berbaur dengan para pedagang. Tahukah bapak, banyak dari pedagang yang mengalami relokasi kehilangan penghidupannya. Sekalipun promosi telah gencar bapak lakukan untuk menarik banyak pengunjung datang ke tempat kami, faktanya Pasar Notoharjo tetap sepi. Banyak pedagang yang beralih profesi. Bahkan ada beberapa yang memilih untuk bunuh diri. Silahkan bapak cek sendiri kalau tidak percaya. Keluarga kami juga menjadi korban dari program relokasi tersebut. Hasilnya, kami meninggalkan Solo dan pindah ke Magetan.
Diantara anak-anak jalanan di sana, ada beberapa teman saya yang tidak cukup beruntung untuk menikmati bangku sekolah. Contohnya Bambang, pengamen cilik yang bahkan tidak tamat SD. Juga Sidik, sahabat saya yang putus sekolah dan kini menjadi kuli bangunan. Saya yakin masih banyak Bambang dan Sidik lain di negara ini.
Saya prihatin dengan kondisi teman-teman saya di jalanan sana. Mereka butuh perhatian. Mereka butuh kasih sayang dari pemerintah. Sekalipun kini banyak program bantuan untuk siswa kurang mampu, faktanya program tersebut masih belum adil dan merata. Pemerintah tidak hanya berkewajiban untuk membantu anak-anak sekolah, melainkan berkewajiban pula untuk menyekolahkan anak-anak yang belum sekolah.
Kedua, realita bahwa banyak sarjana di Indonesia yang menjadi pengangguran. Mengapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya bukan karena kurangnya intelektualitas, tetapi kurangnya karakter pemuda-pemuda Indonesia. Pendidikan karakter di negara kita mestinya diutamakan mengingat besarnya pengaruh karakter seseorang dalam menentukan kualitas hidupnya. Dengan kata lain, pendidikan harus menyeimbangkan tiga aspek penting dalam diri manusia : Intelligence Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), dan Spiritual Quotient (SQ)
Dalam lingkup sekolah, pendidikan karakter sangat efektif diaplikasikan dalam kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler dan organisasi. Saya telah membuktikannya. Awal masuk SMK, saya masih gugup berbicara di depan banyak orang. Setelah aktif ber-organisasi selama satu tahun, saat kelas XI, saya berhasil menjuarai lomba debat PMR di Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS). Ini menunjukkan bahwa kemampuan verbal dan mental saya telah terasah dengan baik.
Selain kemampuan verbal, jiwa kepemimpinan saya pun turut terasah. Beberapa kali saya terpilih menjadi ketua di beberapa organisasi. Puncaknya, tahun ini saya terpilih menjadi Ketua OSIS di sekolah saya. Kepribadian saya pun mengalami peningkatan. Mulai dari kedisplinan, inisiatif, kreatifitas, tanggung jawab, dan nilai-nilai positif lainnya semakin melekat dalam diri saya. Hal yang sama juga dirasakan oleh teman-teman saya yang juga aktif di kegiatan organisasi dan ekstrakurikuler. Seandainya kegiatan-kegiatan semacam ini semakin gencar dicanangkan dan difasilitasi oleh pemerintah, tentu akan lebih banyak pemuda-pemuda berkarakter yang siap menghadapi tuntutan zaman.
Kesimpulannya, ada dua hal utama yang harus kita lakukan untuk merenovasi dunia pendidikan di Indonesia : ratakan dan optimalkan! Utamanya optimalisasi pendidikan karakter supaya di kemudian hari tidak ada lagi 'pengangguran terpelajar' di negeri kita ini. Tak lupa saya meminta belas kasihan dari bapak-bapak untuk turut memerhatikan nasib anak-anak jalanan yang 'tidak bisa sekolah' dan 'tidak mau sekolah'. Bagaimana pun juga, mereka adalah bagian dari bangsa ini.
Sekian surat mungil dari saya untuk menyuarakan isi hati saya sekaligus mewakili suara anak-anak jalanan Indonesia.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
AHMAT ROIHAN
Siswa SMKN 1 Bendo Kabupaten Magetan Provinsi Jawa Timur
0 komentar:
Posting Komentar