728x90 AdSpace


  • Terbaru

    Jumat, 23 Agustus 2013

    [Peserta Lomba Menulis Surat] Teruntuk Mereka yang Merdeka Jiwanya

    Kepada: Jiwa-jiwa yang Dikasihi


    Bu, Ibu, aku bukanlah seorang penyair. Tak pantas rasanya aku bersyair untuk negeriku. Bersyair untuk mengeluh atas keadaannya.


    Yah, Ayah, ilmuku masih belum tinggi. Ayah tahu? Terkadang aku masih mengulang dalam ujian fisika dan beberapa mata pelajaran lainnya. Tak pantas rasanya aku sombong mengatai negeriku ini dengan kata-kata yang sok intelek, sok ilmiah, ataupun sok-sok lainnya. Berkata untuk mengumpati keadaannya.


    Dik, adik, janganlah kau anggap aku ini telah dewasa dan bijaksana. Aku masih anak SMA yang terkadang belum bisa mengontrol emosiku. Tak pantas rasanya untuk merasa selalu benar. Merasa benar dalam berkomentar atas keadaan negeri ini.  Karena hakikatnya, aku dan milyaran manusia lain adalah tempat salah dan lupa.


    Kau boleh menganggap ini adalah omong kosong. Kau boleh menganggap tulisan ini hanyalah sampah yang bahkan untuk dibaca pun dirasa sangat tidak pantas. Ini bukanlah tulisan yang special. Bukan juga tulisan cetar membahana seperti yang Syahrini bilang. Apalagi jika kau membandingkannya dengan motivator macam Pak Mario atau Pak Krisna, tentu ini taka da apa-apanya. Satu hal yang membuat saya meramu tulisan ini adalah karena kau akan menyadari sesuatu yang tak pernah kau sadari. Ah, siapa peduli?


    Hari demi hari telah dijalani. Bulan demi bulan tak terasa tlah berlalu.  Dan umur pun semakin tua. Ya, 350 tahun masa penjajahan tlah berakhir. 68 tahun sudah negeri ini merdeka. Apa? Merdeka? Percayakah kau dengan mereka yang mengatakan itu hanyalah omong kosong belaka? Percayakah kau dengan kata orang bahwa negeri ini tlah merdeka?


    Kau katakan negeri ini belum merdeka karena carut marut. Kau katakan negeri ini belum merdeka karena masih terbelit masalah yang pelik dan entah kapan terselesaikan. Kau katakan negeri ini belum merdeka karena miskin. Dan kau juga katakan negeri ini belum merdeka karena belum bisa belum bisa menjaga ke-bineka tunggal ika-an. Berani sekali kau. Apakah kau cukup pandai bersyair sehingga dengan syair indahmu kau mengeluh akan keadaan negerimu sendiri? Apakah kau cukup berilmu sehingga dengan bahasa intelekmu kau mengumpati negerimu ini? Apakah kau merasa kau telah dewasa dan bijaksana sehingga kau berkomentar seenakmu?


    Wahai jiwa-jiwa yang bebas, tidakkah kau lupa? Lupa akan perjuangan para pahlawan yang berusaha membebaskan diri dari belenggu kolonialisme dan.. ah.. sejauh mana kau tahu itu? Bahkan banyak dari kalian yang tidak mengenal diri kalian sendiri. Sadarlah wahai saudaraku, kau punya sesuatu yang special, yang bahkan belum tentu Negara lain punya. Ah, siapa yang mau mengerti?


    Ini adalah hari yang membahagiakan. Ya, 68 tahun yang lalu pada hari ini, 17 Agustus, merah putih berkibar dengan indahnya, lagu Indonesia Raya menggema mengetarkan hati setiap yang mendengarnya, kemerdekaan yang diharap-harapkan selama berabad-abad lamanya sudah diambang mata. Dapatkah kau bayangkan bagaimana sedihnya mereka yang telah berjuang dengan mempertaruhkan harta,dan bahkan nyawa, kau balas dengan mengeluh dan menangisi keadaan negeri yang tak kunjung membaik. Pantaskah perjuangan mereka kau balas dengan perlakuan semacam itu? Tak sadarkah, kau punya sesuatu yang bahkan lebih dari yang mereka punya untuk sekedar mengeluh dan menangis? Ah, akankah kau menyadarinya?


    Hari ini seorang tukang sapu memberitahukan rahasia sesuatu yang tak pernah kusadari sebelumnya. Dengan tersenyum dia berkata,”aku tak akan pernah mengeluh karena keadaan negeri ini, berkomentar buruk, atau bahkan mengumpatinya. Dan aku tak perlu punya otot kawat, tulang besi, ataupun mulut baja untuk melakukan itu, selama aku masih punya kebanggaan, kebanggaan, kebanggaan, dan kebanggaan. Bangga dengan keindahan alamnya, bangga dengan keanekaragaman budayanya, bangga dengan perjuangan para pendahulunya, dan yang paling penting, bangga karena Dia masih memberi kesempatan untuk merasakan itu semua dengan ‘bebas’.”


    Aku tak tahu apakah yang diucapkan tukang sapu itu benar. Tapi yang aku tahu, mereka selalu ada di dekatmu. Sekumal apapun dia, dia akan terus berusaha membersihkan dan menghilangkan ‘kotoran-kotoran’ bernama kebohongan, kelicikan, keegoisan, dan masih banyak lagi. Aku percaya kau lebih kenal tukang sapu itu lebih dari siapapun, karena aku yakin kini kau menyadarinya.


    Dirgahayu Bangsaku yang Merdeka! Salam takzim dari kami, jiwa-jiwa yang telah MERDEKA.



    Fatah Nugroho


    SMA Negeri 1 Kebumen, Jawa Tengah



    Info lengkap lomba silakan klik di sini



    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    5 komentar:

    Item Reviewed: [Peserta Lomba Menulis Surat] Teruntuk Mereka yang Merdeka Jiwanya Rating: 5 Reviewed By: Jingga Media
    Scroll to Top