728x90 AdSpace


  • Terbaru

    Jumat, 30 Agustus 2013

    [Peserta Lomba Menulis Surat] Kepada : Setiap Nurani yang Masih Mencintai Bumi Pertiwi Indonesia

    Surakarta, 10 Hari Setelah Kemerdekaan Indonesia


     


    Kepada : Setiap Nurani yang Masih Mencintai Bumi Pertiwi Indonesia


    Merdeka…Merdeka…Merdeka !!!


    Satu kata yang 68 tahun silam menyeruak dalam setiap jiwa pemuda. Seruannya menggelegar, Hingga dirindu oleh setiap manusia yang mencintai tanah airnya. Menggentarkan seluruh penjajah hingga tak bergeming. Membuat mereka terusir dari tanah persada. Semua manusia kala itu satu rasa, satu cinta dan satu bahasa. Menjadikan Indonesia sebagai tumpah darah yang mulia. Kemerdekaan menjadi satu tujuan bersama, dimana tak ada yang lebih rendah satu dengan yang lainnya. Perjuangan telah membawa satu lajur persamaan visi, menjadikan Indonesia tanah merdeka, membebaskan belenggu yang telah lama mengikat bangsa. Perbedaan ras, suku, golongan, agama dan kekayaan tak jadi masalah. Semua manusia saat itu berduyun-duyun bekerjasama. Kaum intelektual tak tampak tinggi dihadapan sesama, para priyayi dengan seksama merangkul para pribumi dengan sukacita. Semuanya gembira, semuanya bahagia, saat detik-detik proklamasi menggema ke seantero bumi pertiwi. Satu harapan telah lahir, Indonesia bak bayi lahir, masih menggantung cita-cita di angkasa raya. Perjalanan masih panjang. Itu yang tersirat dari untaian para pendiri dan pahlawan bangsa.


    Kemerdekaan dapat diraih saat semuanya mendapatkan perlakuan adil sesuai pancasila. Namun, bila kita membuka mata dan melihat realita, apa yang terlihat olehmu sekalian, wahai saudaraku sebangsa dan setanah air?! Semuanya berbeda, semua tak lagi sama.


    Kalau kau ingat dendangan lagu kolam susu, kau dapat bayangkan betapa makmurya negeri ini dilukiskan. Namun, realitanya berbeda, cobalah sesekali kau mengunjungi bagian-bagian terpencil negeri ini yang telah tereksploitasi .Jangan melulu berfantasi jalan-jalan ke luar negeri. Acuh tak acuh dengan permasalahan negeri. Kau tahu, dari Sabang hingga Merauke telah rusak alamnya, hutan tak lagi menjadi paru-paru dunia, lingkungan dirusak seenak udelnya. Ditebang, disenggamai hingga hanya asap mengepul dan banjir yang tersisa disana-sini. Coba kau kalkulasi, berapa banyak desa dan manusia yang menjadi korbannya. Kalau dihitung, kita semua pasti akan terngangga.Begitu besar kerusakan yang dilakukan oleh tangan manusia.


    Tidak cukup sampai disitu saja masalah negara kita ini. Di kota dan desa, kesenjangan semakin menjadi-jadi. Orang kaya melesat meninggalkan orang tak punya. Dimana-mana, mata kita akan disuguhi pemandangan yang timpang setiap hari. Kawasan elit yang bersih namun jarang berpenghuni, berbanding terbalik dengan perkampungan kumuh yang memiliki populasi cukup tinggi. Perbedaan itu kian menghujam. Angka kemiskinan menjadi-jadi, pemerataan pembangunan menjadi isu sentral dalam setiap rapat di bangunan bernama gedung perwakilan rakyat. Namun, dengan beragam kebobrokan dan korupsi yang menjadi-jadi di tubuh wakil rakyat, apa benar keadilan bisa ditegakkan. Hukum seenaknya saja diperjualbelikan. Bila pembangunan hanya berorientasi pada masalah materi dan menyikirkan sikap “humanisme” pada manusia, tak ubahnya kita kembali ke masa penjajah. Kemasannya lebih modern saja.Sadarkah kita dengan hal ini?! Kita kembali tercengkeram. Saat ini kita hanya menjadi bahan tontonan. Menuruti semua lakon yang dimainkan oleh dalang. Hingga dengan mudahnya diadu domba karena perbedaan. Bukankah perbedaan itu merupakan anugerah Tuhan. Agar kita bisa menghargainya, dan saling belajar satu dengan lainnya. Kemana Bhineka Tunggal Ika yang sempat tepatri dalam dada. Konflik berkecamuk hanya karena masalah sepele, perbedaan agama menjadi bahan berita utama. Isu selalu dilempar sebagai wacana tanding di media massa. Konflik berkobar dan tak ayal berujung pada korban. Sadarkah kita bahwa perbedaan yang terjadi sejatinya memiliki keunikan yang justru dapat memperkaya Indonesia. Kenapa perbedaan justru menjadi boomerang. Bukankah kita memiliki akal untuk berpikir, menyelesaikannya dengan kepala dingin. Bukan dengan dengan otot karena kefanatikan idealism dan ego yang mengangkasa tinggi. Bukankah kita tidak akan hina bila menyelesaikannya dengan damai dan melontarkan kata “maaf” satu dengan lainnya.


    Keprihatinan terus menerus terlontar dari bibir kita. Mengaku tak punya kuasa atas semua. Namun, sadarkan kita, bila semuanya terus berlangsung. Kita tak ubahnya hidup terkatung pada asa dan cita untuk memerdekan Indonesia. Sudah saatnya kita bergerak, meskipun sangat lambat seperti siput sekalipun. Semua bisa dilakukan, asal kita ada kemauan, setitik keinginan merubah bangsa ini menjadi lebih baik, tak ubahnya akumulasi bom yang setiap saat dapat diledakkan. Kita masih bisa memperbaiki negeri ini dengan karya, cinta dan tekad kemajuan. Demi bangsa tercinta, Indonesia.


    Merdeka…Merdeka…Merdeka !!!


    Fahrurozi Hari Purnomo

    SMAN 1 Surakarta - Jawa Tengah

    Info lengkap lomba silakan klik di sini

    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Posting Komentar

    Item Reviewed: [Peserta Lomba Menulis Surat] Kepada : Setiap Nurani yang Masih Mencintai Bumi Pertiwi Indonesia Rating: 5 Reviewed By: Jingga Media
    Scroll to Top