Kepada Yth.
Ibu Pertiwiku,
Indonesia
Dengan hormat bergelorakan rasa cinta dan bangga,
Aku hantarkan sebuah surat sederhana ini untuk Ibu Pertiwi, negeriku, tanah air, Indonesia tercinta. Disertai rasa terimakasih kepada Ibu Pertiwi tempat aku terlahir, Indonesia kebangsaanku. Melalui surat ini aku ingin mengantarkan rasa dalam sanubari yang terbesit dalam pikiranku.
Salam merdeka !!
1708. Ya, tanggal 17, bulan Agustus adalah tepat 68 tahun lalu Ibunda merdeka. 17 Agustus 1945. Aku sangat hafal ibu...hari kemerdekaan Ibunda, kebebasan dari para penjajah setelah para pahlawan berjuang dengan sebuah bambu runcing. Sungguh hebat! Begitulah menurut sejarah yang ku tahu.
Merdeka!!
Apa kabar Ibu Pertiwi? Aku harap keadaanmu selalu baik, tentram, nyaman dan sejahtera, Ibu ... Tapi rasanya ada yang salah dengan salamku. Aku bilang merdeka? Tapi maaf Ibu ... Ya, kamu memang sudah bebas dari jajahan para sekutu serakah nan keji yang selalu ingin menguasai hartamu. Hanya saja tanpa disadari penjajahan masih ada. Memang tidak seperti penjajahan 68 tahun lalu. Penjajahan yang ada di abad 20 ini adalah penjajahan secara tidak langsung. Putra dan putrimu saat ini telah dijajah oleh teknologi canggih dan kepintaran.
Teknologi canggih, sekarang internet semakin marak, gadget-gadget semakin pintar. Memang banyak manfaatnya. Tapi negatifnya pun tidak kalah banyak. Dengan internet, putra-putrimu menjadi pribadi yang maunya instan, cepat. Tak jarang dengan adanya internet putra-putrimu menjadi anti sosial, terlalu sibuk dan fokus dengan gadgetnya. Mungkin era ini bisa disebut era bisu. Budaya saling sapa, senyum, menundukan badan, sudah jarang dilestarikan. Kepintaran. Jaman ini memang putra-putrimu semakin pintar. Tapi banyak yang buta dengan kepintaran yang mereka miliki. Tak banyak dari mereka yang memanfaatkan kepintaran mereka dengan hal yang tidak baik. Seperti korupsi. Para koruptor itu kebanyakan orang-orang pintar, orang-orang berdasi. Saking pintarnya sampai melakukan perbuatan keji, bodoh. Kalau aku bilang, pintarnya "kebelinger".
Ibu...maafkan putra-putrimu yang membuat keadaan memburuk. Seperti yang sudah dunia ketahui, kamu terkenal dengan korupsinya yang merajalela. Padahal kamu tidak salah, tapi namamu yang selalu dibincangkan. Kami...lebih tepatnya mereka memang tidak tahu diri. Sudah bersumpah kepada Allah, Tuhan, tapi mereka malah ingkar. Tidak malukah mereka? Mereka korupsi, memakan uang rakyat. Ya, seperti kata pepatah yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Ah... Semoga generasiku tidak seperti mereka.
Ibu, kaki ini telah menginjak-injak tanahmu, memakai airmu, menghirup udaramu, menikmati keindahan alammu. Namun apa yang bisa aku berikan untukmu? Aku tidak tahu bagaimana harus berterimakasih. Tapi aku akan menjagamu dan membuatmu bangga. Semoga.
Mungkin harus ku akhiri surat ini. Aku sudah mengantarkan rasaku melalui surat. Sekian. Terimakasih untuk segalanya.
Salam
Alfi Aisyah
SMAN 1 Kabupaten Tangerang, Banten
0 komentar:
Posting Komentar