728x90 AdSpace


  • Terbaru

    Selasa, 23 Juli 2013

    Selepas Fajar Tadi

    Cerpen Lusy Syarifah*


    Tiap adzan Shubuh berkumandang, waktu fajar di mana Tuhan pertemukan aku dan dia, selepas sujud yang kupanjatkan padaNya, sebaris doa sederhana dalam nafasku, beranjak dan kutemukan lagi wajah ayunya, butir tasbih yang menjadi saksi. Aku tak tau, salahkah? Jika mataku dan matanya saling beradu dalam diam dan senyum.

    Ada perasaan menggebu tiap kali terbangun dalam tidurku, syukurku atas pagiMu, melihat dia kala itu mungkin sedikit kebahagiaan atas doa-doa ku. Sejenak. Entah ini karena nafsuku atau karunia yang Tuhan berikan, hingga mataku dan matanya kembali bertatap, ada senyuman terlihat jelas dari bibirnya, memang berbeda.

    ***

    Aku termenung, aku tak tahu apa dan tak ingin menyadarinya, aku dan Romli berjalan menuju danau. “Fid, apa kau sudah dengar bahwa Salma menghilang,?” Romli membuka pembicaraannya, memecah lamunanku.

    “Hafid, kau dengar aku? Sejak dari surau tadi kulihat kau diam, jangan ngelamun toh, masih pagi!,”

    “Salma hilang? Sejak kapan Romli? Pulang shalat subuh kemarin aku masih melihatnya,” aku masih menanggapi ucapan Romli dengan biasa, fikiranku belum mau membahas tentang Salma.

    “Nah sejak kemarin pagi itu dia menghilang Fid,”

    “Sudah Rom, kita doakan saja semoga dia cepat ditemukan,”

    Aku lebih suka menyendiri, mungkinkah yang mengurung fikiranku adalah tentang Salma? Salahkah jika aku mengatakan bahwa aku menyukai Laila, bukan dirinya, ternyata selama ini dia telah salah faham atas sikapku, apa mungkin ini karena aku? Suara Romli pun tak kudengar lagi, mungkin dia pergi saat aku dengan fikiranku sendiri.
    Udara pagi yang sejuk, menelusup dalam sela-sela kulitku, kakiku yang mendarat di air danau, kupejamkan mata dan menarik nafas panjang.

    “Aku tak mengerti kenapa orang lebih suka diam,” tiba-tiba aku mendengar suara perempuan dari arah belakang.

    “Laila?,” aku tersenyum.

    “Ada apa fid? Salma? Perasaan adalah satu hal yang tak pernah bisa berbohong, jika hatimu berkiblat pada orang lain, maka itu bukan salahmu”

    Aku hanya dapat tersenyum, menapaki keindahan wajahnya, manis.

    “Aku tahu fid,”

    “Tahu tentang apa?”

    “Kau menyukaiku, benarkan?”

    Sekian kalinya aku tak dapat menjawab pertanyaannya dengan ucapan, walaupun hanya kata “ya”.

    “Aku kenal Salma, dia bukan orang yang seperti itu, percayalah,”

    “Abahmu tak akan merestui perasaanku Laila,”

    “Kau tak pernah bicara, jadi bagaimana kau tahu,?”

    “Cinta memang buta, tapi tahta tidak buta Laila,”

    “Ambu pernah berpesan, pilihlah laki-laki yang lebih mencintai Tuhanku melebihi apapun, termasuk diriku sendiri, dan hatiku memilih kamu, Hafid”

    “Dan hatiku memilihmu karena Tuhanku”

    Laila tersipu malu. Mungkin sejak saat ini hatiku lebih terbuka, Laila dan aku memang memiliki perasaan yang sama, walalupun sejak awal hanya mata kami yang berbicara.

    “Fid, ayo kita pulang, kamu pasti akan membantu emakmu diladangkan?,”
    (tanpa menjawab) aku dan Laila terbangun, kemudian kami tersentak, segerombolan orang menghampiri kami dengan wajah saling menghakimi, termasuk pak Jahri, abahnya Laila, orang yang paling disegani dikampungku.

    “Hafid, berani sekali kau! Setelah menyebabkan ponakanku Salma menghilang, sekarang kau mengincar putriku!,”

    “Abah, sungguh ini tidak seperti yang Abah fikirkan, kami tidak,” Laila mencoba membelaku, ucapannya terhenti karena tiba-tiba ada warga yang berteriak;

    “Ada mayat! ada mayat!,”

    Warga yang berkumpulpun terpecah dan menyaksikan jenazah siapa yang orang itu temukan, pak Jahri yang pertamakali melihatnya

    “Salma ?”

    Aku dan Laila terkejut, Laila seketika berlari menuju jenazah Salma, kami tak percaya, segala fikiranpun hinggap diotakku. Pak Jahri murka.

    “Ini semua karena bocah itu!,  Hafid! kita harus membawanya jauh-jauh dari kampung kita !”

    “Iya pak, aku pernah melihat Salma berdiri dekat jurang di barat, aku tak menyangka, ternyata Salma berniat bunuh diri, aku yakin ini pasti karena Hafid, orang seperti dia tak pantas diampuni!,”

    “Romli, kau tak bisa menuduhku seperti itu!,”

    Aku tak percaya ternyata sahabatku sendiri berkata seperti itu, ini semua seperti sandiwara. Aku dihakimi oleh semua warga, padahal sedikitpun aku tak tahu apa-apa tentang kematian Salma, mana mungkin aku melakukannya. Aku hanya dapat melihat Emak menangis, ia tak dapat melakukan apapun melihat anaknya dihakimi oleh warga seperti ini, semuanya berjalan begitu cepat,ketika ku terbangun, aku tak tahu dimana aku berada, wajah dan sekujur tubuhku telah membiru. Emak, apakah ia baik-baik saja ? Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan, apakah begini akhir dari rasaku terhadap Laila? Dan ada apa dengan Salma?.

    ***

    Walaupun cintaku tak terbalas, aku bahagia ternyata orang yang terpilih adalah Laila, sepupuku sendiri. Dia memang gadis yang baik dan murah hati, Hafid tidak salah memilih. Aku menemui Romli, dia adalah pemuda yang akan dijodohkan dengan Laila, dia juga sahabat Hafid, aku harus bicara padanya, dia harus bisa mengikhlaskan Laila, dia pasti akan mengerti. Tapi ternyata kenyataan yang kudapatkan sebaliknya.

    “Cobalah kau pahami Romli, apakah kau akan tega menkahi wanita yang mencintai dan dicintai oleh sahabatmu sendiri, Hafid?,”

    Pertengkaranku dengan Romlipun diawali.

    “Aku tak peduli Salma! terserah kau mau bicara apa, yang jelas Laila milikku! , orangtuaku dan orangtua Laila sudah sepakat, dan aku benar-benar menginginkan Laila,”

    “ Hatimu batu, Romli!,”

    Romli tertawa puas sekali, aku terpeleset hingga jatuh kejurang, Romli melihatku dengan mata kepalanya sendiri, tapi justru ia terlihat bahagia, hatinya memang batu. Mungkin inilah fajar terakhir yang aku temui[].


     * Siswi MAN Buntet Pesantren Cirebon, Jawa Barat

    madingsekolah.net | Portal Pelajar Indonesia
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Posting Komentar

    Item Reviewed: Selepas Fajar Tadi Rating: 5 Reviewed By: Jingga Media
    Scroll to Top