728x90 AdSpace


  • Terbaru

    Sabtu, 23 Februari 2013

    Pelangi Terakhir

    Cerpen Delvi Sulistin Monawati*


    Sudah tiga tahun berlalu sejak aku jatuh sakit dulu, aku tak t[ahu penyakit apa yang di deritaku,  yang jelas sering kali ku merasakan sesak di dada dan perut sebelah kiri.

    Setiap kali ku memeriksakan ke dokter, mama, papa juga  dokter  enggan memberitahu tentang penyakitku, mereka hanya memberitahu bahwa aku hanyalah kelelahan , yang bisa menyemangatiku hanyalah Raffi , teman sejak kecil yang selalu setia menemani saat aku harus keluar masuk rumah sakit .

    Setiap sore hari, aku dan Raffi pergi ke tepi danau untuk menyaksikan pelangi, dan kadang – kadang melihat matahari terbenam.  Udara yang sejuk di temani pelangi yang indah.  Sore ini Raffi akan mengajakku lagi ke danau itu setelah tiga tahun terbaring di rumah sakit. Tepat jam lima sore Raffi menjemputku, tentu dengan sepedanya.

    “ Vitha, sore ini adalah sore pertama kita pergi ke danau itu lagi setelah sekian lama kita tak pernah mengunjunginya”. Katanya, Raffi mengajakku.

    “ Iya Fi, aku senang banget bisa kesana lagi”. Jawabku, mengharap.

    “ Apakah kau ingin menyaksikan matahari terbenam ? Masih ingatkah kau saat kita menyaksikan itu tiga tahun yang lalu ?”

    “ Ya, aku masih ingat betul bagaimana keindahan itu, aku ingin sekali bisa menyaksikan itu lagi”.

    “ Ayo kita kesana, akan ku pastikan kau akan menyaksikan lagi indahnya langit di sore hari”. Tutup Raffi, sambil tersenyum.

    Lalu, aku dan Raffi pergi ke tepi danau, sebenarnya ingin sekali seperti dulu, pergi ke danau itu ssembari saling berpacu sepeda bersama Raffi, tapi orang tuaku tak mengizinkannya karena kondisiku yang mungkin belum bisa sekuat dulu. Aku hanya bisa duduk di boncengan sepeda Raffi, angin yang tak begitu kencang, cukup sedikit membuat tubuhku segar.

    “ Nah kita sudah sampai Vit, ayo kita duduk disana” .Ucap Raffi sambil menggandeng tanganku turun dari sepeda menuju tepian danau.

    Indah..

    Sangat indah..

    Begitu indah ku pandang, sudah tiga tahun mataku hanya bisa melihat obat – obatan, infus, alat bantu jantung, suntikan penenang, dokter, juga suster. Tapi kali ini, diiringi kicauan burung yang terbang di atas danau, seolah – oleh ikut merayakan dan menyambut  kedatanganku disini,

    “ Vitha, dulu waktu kamu masih sakit, aku sendirian disini, jika aku sedang merindukanmu, aku pergi ke tepi danau ini dan berbaring menatap langit senja, membayangkan kau tersenyum disampingku”. Raffi memulai perbincangan.

    “ Hmm .. aku juga merindukanmu”. Jawabku dengan sedikit gugup.

    “ Lihat Vitha, pelanginya indah sekali, apa kau suka?”

    “ Aku suka sekali dengan pelangi fi , pelangi itu sangat indah, hatiku damai banget melihat pelangi”. Mataku hampir berlinang deras, sudah lama kunanti berhadapan dengan pelangi seindah ini, seperti sore-sore di tiga tahun yang lalu.
    ..........

    Lima belas menit telah berlalu, Tuhan, aku bahagia disamping Raffi, biarkan aku bersamanya. Hatiku berkecamuk, antara memeluk kedamaian dan memprotes waktu yang terasa cepat sekali.

    “ Vitha, apa kau rasakan juga kerinduanku padamu?”. Tanya Raffi.

    “ Ya,  aku merasakannya”. Jawabku.

    “ Aku punya satu permintaan untukmu”. Mata Raffi yang sudah sangat kurindu itu, menatapku, tajam sekali.

    “ Apa?”. Tanyaku penasaran.

    “ Apa kau mau berjanji untuk tetap bertahan hidup bersamaku?, aku yakin kau bisa melakukan itu Vitha”. Suara Raffi sedikit bergetar.

    “ Aku akan berjuang melawan penyakit ini demi kamu, walau aku tak tahu apa yang ku derita ini, tapi apa kau mau berdampingan dengan perempuan yang mengidam penyakit jantung dan ginjal stadium dua? apa kau tak malu mempunyai perempuan yang lebih mesra dan memasrahkan diri kepada beberapa penyakit?, jelasku, dengan tak kalah getar.

    “ Apa yang kau bicarakan Vitha? Aku menerimamu apa adanya, aku hanya mencoba jujur, inilah aku, inilah perasaanku yang sudah ku simpan dari dulu untukmu. Aku tak peduli orang lain, kau harus berjanji jika aku pergi meninggalkanmu untuk sementara kau akan tetap setia padaku seperti aku yang selalu setia padamu sampai saat ini”. Raffi kembali menatapku, sejuk sekali.

    Aku tercengang, bermain petak-umpet dengan ucapan Raffi yang terakhir itu, “Jika aku pergi meninggalkanmu untuk sementara”. Ada apa ini?. Tanyaku dalam hati.

    Lelaki yang selalu ada di sisiku dalam kondisi apapun, lelaki yang tak lain adalah sahabatku dari kecil itu rupanya benar – benar mencintaiku, ya Tuhan, apakah aku sanggup memenuhi janjiku itu? Aku harus melawan penyakit ini, sungguh tak ingin melihat Raffi bersedih karena aku lagi.
    ......

    Keesokan harinya, pagi hariku disambut oleh sepucuk surat dari Raffi.

    ~ Dear, Vitha..

    Vitha jujur aku bingung harus berkata apa sama kamu, tapi aku harus katakan ini padamu.

    Vit, mungkin saat kau baca surat dariku ini aku sudah pergi darimu. Karena aku telah lulus SMA saat kau masuk Rumah Sakit tiga tahun lalu, aku diperintah oleh orang tuaku untuk melanjutkan Kuliah di luar kota, sebenarnya mereka menyuruhku kuliah sudah lama, tapi aku tak mau, tak mau  meninggalkanm, karena pasti kau membutuhkanku,

    Kini, kau sudah sembuh bukan? aku harus pergi, sebenarnya ingin sekali kukatakan ini saat bersamamu di danau sore tadi. Tapi aku tak ingin melihatmu sedih, sudah cukup aku tahan menatap kesedihanmu selama ini.

    Aku tak akan lama Vit, kamu harus janji, saat aku liburan nanti dan pulang menemuimu, kau harus masih seperti yang ku sayang, masih setia padaku seperti aku setia menunggumu, dulu, hubungi aku jika kau merindukanku.

    Percaya padaku , bahwa aku akan selalu menyayangimu.

    Love you

    Raffi



    Sedih, nafasku hampir habis terkuras untuk membaca seisi surat yang ditulis Raffi untukku ini. Aku tak pernah membayangkan hal ini akan terjadi, padaku, juga Raffi, tapi kekagumanku pada Raffi akhirnya semakin bertambah,  dia telah rela untuk menunda kuliahnya untuk terus tetao menemaniku di rumah sakit selama ini.
    “Aku janji, Raffi, tak akan kuserahkan hati pada yang lain, karena kuyakin, kemarin sore, bukanlah pelangi terakhir, untuk kita”.



    *Cerpenis adalah siswi SMA Negeri 1 Lemahabang, Kabupaten Cirebon – Jawa Barat.

    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    3 komentar:

    1. woww.. kren bgt cerpennya. sampe terharu, mantab. :)

      BalasHapus
    2. Mantap.... terus berkarya.... ceritanya cukup menarik.. ^_^

      BalasHapus
    3. Keren. kirim cerpen2mu yg lain ke media cetak utk remaja. Kau punya talenta di sini

      BalasHapus

    Item Reviewed: Pelangi Terakhir Rating: 5 Reviewed By: Jingga Media
    Scroll to Top