728x90 AdSpace


  • Terbaru

    Senin, 25 Februari 2013

    Menulis Cerpen Yuk?

    [caption id="attachment_462" align="alignleft" width="300"]cerpen-cinta-gerimis Sumber Gambar: http://aliepermadi.files.wordpress.com/2011/10/cerpen-cinta-gerimis.jpg[/caption]

    Sebagian orang berpendapat bahwa menulis cerpen adalah hal yang susah-susah gampang. Seorang penulis pemula terkadang tak kalah memiliki banyak ide dan imajinasi, namun setelah tiba masanya untuk menuangkan hal tersebut ke dalam bentuk tulisan ternyata  semuanya terasa buntu dengan tiba-tiba. Alasannya sangat beragam, susah untuk memulainya, tema yang terlalu besar dan berat, atau yang paling sering adalah menguatnya rasa ketidak-percayaan diri, terlebih bagi seorang penulis yang masih berstatus sebagai pelajar.


           Lalu, bagaimanakah sebaiknya jika kita mendapati hal-hal tersebut saat hendak menulis cerpen, berikut kami sajikan sebuah hasil wawancara ekslusive tim redaksi madingsekolah.net bersama Kang Baequni Mohammad Haririe, seorang penyair juga cerpenis dari Cirebon. Aktif di Komunitas Seniman Santri (KSS), puisi dan cerpennya kerap dimuat dalam media cetak dan online. Buku yang pernah ditulis antara lain; Kumpulan Puisi  “Aku dan Singa Tua” (2007), Surat Untuk Tuhan” (2010), serta Novel “Habib Palsu Tersandung Cinta” (2010). Dan pernah memecahkan rekor MURI (Museum Rekor Indonesia) untuk Pembaca Puisi Tunggal Terlama 48 jam nonstop (2005).


    Cerpen itu apa sih? dan apa keuntungan bagi  para penulisnya?


    Cerpen itu secara umum berarti cerita fiktif dan cenderung singkat (pendek). Tapi saya ingin menyederhanakan dengan bahasa yang –mudah-mudahan— tidak dianggap teoritis, bahwa barangkali apa yang disebut cerpen itu tidak lain adalah semacam dongeng lisan yang dituliskan. Kadang, sesuatu yang teoritis dapat “membui” penulis dalam ruang yang serba terbatas. Tentu saja karena cerpen itu singkatan kata dari cerita pendek, maka sedapat mungkin cerita harus segera dituntaskan di waktu yang sangat terbatas. Tapi terlalu cepat menuntaskan cerita yang pendek juga kadang “menyesatkan”, bahkan berpeluang tidak mengena sasaran. Tidak seperti novel, yang panjang dan kadang bisa dipanjangkan beratus-ratus halaman sesuai kemauan penulisnya. Dalam cerpen ada standarisasi halaman. Katakanlah minimal 3-5 lembar atau maksimal 10.000 kata bahkan bisa mencapai 10 halaman. Akan tetapi, cerpen yang ideal bagi pembaca adalah kira-kira 3-5 halaman (menghindari kebosanan pembaca dan alur yang bertele-tele) dan tuntas. Cerpen hanya menonjolkan satu tokoh, memiliki cerita yang dibatasi oleh cerita singkat tersebut.


              Keuntungan bagi penulis cerpen, tentu saja kepuasan batin (jika berhasil). Entahlah jika ada tujuan lain. Namun penulis juga bisa sekaligus belajar mengasah sisi ketajaman; membaca ruang persoalan yang lebar kemudian menceritakannya secara terbatas serta singkat. Ibarat kita melesakkan satu anak panah, bisa saja mengenai beberapa target, tergantung kepiawaian penulis.


    Tema-tema seperti apa sih yang layak diangkat oleh penulis cerpen yang masih berstatus pelajar?


    Saya tidak berani membatasi ruang ekspresi penulis (meski ia seorang pelajar ataupun bukan) untuk berimajinasi dalam cerpen-cerpen kategoris. Karena bisa saja, seorang pelajar justru lebih kreatif mengangkat tema yang lebih berwarna, melampaui usianya. Semua usia layak mengangkat tema apapun. Konsekuensinya; berhasil atau tidak. Namun bila saya dipaksa menggiring kelayakan tema untuk pelajar, sebaiknya mengangkat tema yang rasional (rasional dalam arti lebih dekat). Bisa tentang pergaulan di sekolah, mengapa ia harus rajin bersekolah, mengapa pendidikan menjadi penting, tentang memori masa kecilnya, atau tentang dinamika pubersitas. Akan tetapi untuk yang terakhir, takdirnya terjebak pada ketidakjelasan konflik dan ending. Sering saya temui dalam cerpen-cerpen pelajar yang mengangkat tema-tema percintaan, melulu tidak mengenai sasaran. Meski tidak semua penulis cerpen yang berstatus pelajar, terjebak soal tadi.


    Cerpen yang baik itu yang seperti apa?


    Cerpen yang baik (mungkin) itu barangkali cerpen yang berhasil “menghipnotis” pembaca. Sederhananya, pembaca dibuat takluk mengikuti tiap baris dari cerita maupun dialognya, mampu menyeret pembaca –sebisa mungkin— terlibat ke dalamnya, sanggup mengenalkan karakter tokoh kepada pembaca. Sampai ia (pembaca) harus merasakan bahwa jika ia selintas membaca awalnya saja, tentu akan merasakan ketidakpuasan pada endingnya. Jika ia membaca awal dan akhir ceritanya saja, ia akan mengalami ketidaksempurnaan cerita; bagaimana cerita itu bermula dan tiba-tiba –dianggap—tak selaras dengan akhir? Seolah-olah ia akan mengalami penyesalan bila harus memenggal cerita. Tidak semua cerita yang diawali dengan A kemudian dapat ditebak akan berakhir ke B, bisa saja berakhir ke C atau D dan sebagainya. Meski pembaca memiliki kemampuan menebak atau meraba isi cerita dengan hanya bermodalkan membaca awal cerpen, namun sesungguhnya ia justru banyak kehilangan estetika cerpen tersebut secara utuh.


    Bagaimana cara dan tahapan menulis cerpen yang baik?


    Saya sendiri belum bisa merunut secara pasti, bagaimana tahapan-tahapan menulis cerpen yang baik. Karena saya tidak mengalami fase pendidikan itu (otodidak). Beruntunglah bila di sekolah kita serius mempelajari kerangka cerpen sehingga mampu mewujudkan sebuah bangunan cerpen yang tidak saja baik akan tetapi juga indah dan nikmat dibaca oleh pembaca. Hanya, kita bisa memulainya dengan memperkenalkan tokoh (mulai dari situasi apapun), membuat alur yang runut dan menciptakan konflik serta memutuskan ending; sad ending (sedih, dramatis), happy ending (bahagia) atau digantungkan. Resiko terakhir memang harus dengan kejelian dan kepiawaian penulis. Untuk pemula, sebaiknya tidak mengambil resiko menggantungkan cerita. Karena bisa berakibat fatal; cerpen yang tidak bisa dipahami pembaca.


    Apa saran Kang Baequni untuk para pelajar yang menggemari membaca juga menulis cerpen?


    Saran saya; jangan takut menulis. Tulis apa saja, mengangkat tema apapun; sepele-sedang-berat, gemar membaca karya orang lain (untuk memperkaya dan mengasah intuisi, imajinasi dan ekspresi), jangan khawatir salah dan jangan khawatir memulai, dan jangan terjebak dengan teori. Satu lagi, jangan membiasakan diri menjadi plagiat. Ok, selamat berkarya.

    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    2 komentar:

    Item Reviewed: Menulis Cerpen Yuk? Rating: 5 Reviewed By: Jingga Media
    Scroll to Top