Cerpen Lusy Syarifah*
[caption id="attachment_878" align="alignleft" width="150"] Ilustrasi: google.com[/caption]
Hari ini aku hampir terlambat. Mungkin jika lima menit saja aku belum sampai di halte, aku akan tertinggal bus terkhir lagi. “Kesiangan lagi Ardi?” Pertanyaan yang hampir tiap pagi kudengar, mungkin sindiran kebiasaan burukku. “Jam wakerku rusak lagi, gara-gara tidak sengaja kulemparkan”, hanya senyum kecil sebagai jawabannya.
“Kita sudah sampai, ayo turun, jangan sampai kita dihukum pak guru lagi”. Niki langsung pergi , takut terlambat. Kulihat sesuatu tertinggal pada kursi yang diduduki Niki tadi. “Ki, tunggu ada yang tertinggal!”, tapi apa ini? kristal biru berbentuk segitiga? tidak sempat berfikir Niki sudah memanggilku “Ardiii, cepat!” “Iya, iya”. Aku berlari, beruntung supir bus masih berbaik hati menungguku keluar, “Ayo!”, Kulihat lagi senyum manisnya pagi ini, Niki.
“Barangmu tertinggal, ini aku mengambilkannya”, “Apa ini? Ini bukan milikku”, Menjauhkan tanganku darinya. Entah mengapa sebenarnya aku penasaran dengan benda ini, kristal biru yang kurasa tidak biasa, seperti ada energi yang menarikku untuk membawanya, lebih baik kubawa saja.
***
Malam tak seperti biasanya, kantuk yang hilang sulit kutemukan. Mataku tertuju pada kristal biru yang kutaruh di atas laci, dekat buku-buku yang sudah sekian lama berantakan. Sebenarnya benda apa ini, mengapa aku tertarik melihatnya? aku menggenggamnya hinggaku terlelap begitu saja.
Tubuhku seperti dilempar ke tempat yang teramat jauh, bahkan jantungku masih berdegup karena kaget, bingung dan heran. Ini kenyataan atau mimpi?
***
Aku seperti orang yang tersesat entah berada dimana, tempat yang aneh, ramai sekali. Kulihat segerombolan orang berjalan seperti arak-arakan, membawa obor satu-persatu, saling berteriak “ Ha! Ha! Ha!”. Pakaiannya aneh, tampaknya dari kulit binatang, kedua pergelangan tangannya memakai gelang besar, baik perempuan atau laki-laki. Mereka semua mengenakan banyak perhiasan, banyak kristal, di leher, di telinga, tampaknya indah sekali. Logamnya seperti emas. Aku teringat kristal yang tadi pagi kutemukan. Tapi kemana? Bahkan sekarangpun aku tak tahu berada dimana. Aku yakin ini mimpi, terbawa ilusi karena kristal itu. Tapi angin, penciuman, dan suasana malam ini seperti kenyataan. Kulihat rombongan orang-orang aneh itu datang lagi, kali ini lebih banyak. Oh Tuhan, mereka melewatiku, tubuhku tembus pandang., namun masih kurasakan jantungku berdetak, seketika itu kuyakin bahwa ini bukanlah mimpi. Ini kenyataan.
Gerombolan orang itu membawa tandu, di tiap sisinya di beri obor penerang. Sebenarnya zaman apa ini, aku yakin mana ada listrik jika semua orang membawa obor seperti ini, pakainnya pun terlihat kuno. Semakin kuyakin, bahwa aku sedang terdampar.
Lalu lalang orang-orang berjalan dan seenaknya melewati tubuhku. Semakin dekat, dekat, dan mendekat. Kulihat diriku sendiri dalam tandu itu, hanya mengenakan pakaian seadanya dari kulit binatang, sementara sekujur tubuhku dirantai seperti seorang tawanan. Terkejut dan penasaran, negeri macam apa ini ? ku ikuti kemana langkah orang-orang tersebut membawa sosok yang mirip denganku pergi. Meskipun sebenarnya aku penakut, tidak untuk kali ini, rasa penasaranku lebih dari apapun. Aku terus mengikuti mereka, sampai pada suatu tempat seperti padang rumput, luas. Di tengahnya terdapat pelbagai macam bunga dan pembakaran. Laki-laki yang mirip denganku digiring hingga mendekati tempat pembakaran, ia pasrah dan tak berdaya.
***
Seseorang bertubuh besar keluar dan mulai berbicara, mungkin dalam bayanganganku ia adalah kepala suku, walaupun ku tak tahu negeri apa yang tengah kusinggahi ini, bahasanya sama sekali tidak ku mengerti, tangannya menunjuk-nunjuk suatu menara yang cukup tinggi, menara di sebuah padang rumput, obor-obor dikumpulkan sekitar sepuluh meter dari menara tersebut. Orang-orang berbondong-bondong menaruh obornya, hingga menjadi kobaran api yang menyala-nyala, pria itu diseret dengan kejamnya. Tapi mirisnya kenapa yang terlihat adalah sosok diriku? Mengapa aku dibakar? Bagai kolam api, pria itu dilemparkan begitu saja, seperti buangan.
Ketika mataku tercengang melihat peristiwa yang kuharap hanya mimpi, seseorang menarik tanganku dan berlari, terus berlari, sampai nafasku terengah-engah, aku tak sempat melihat wajahnya, permainan apa ini Tuhan?
“Aku sudah menduganya kau akan datang, ku tahu Tuhan tidak tuli”. Aku belum bisa melihat wajah nya, dia berbalik badan.
“Kau siapa?”. Tanyaku dengan hati-hati
Dia mulai berbalik badan, “Niki?” tapi pakainnya aneh, sama seperti orang-orang yang ku lihat disini.
“Mungkin kau pernah melihatku pada duniamu, tapi aku bukanlah orang yang kau maksud. Namaku Ruma, kau berada di negeri yang mungkin kau anggap gaib, duniamu dan duniaku sama-sama berjalan dalam waktu yang sama, tapi terhalang oleh sebuah perbedaan, tempat kita berdiri ini adalah batas perbedaan kita”.
“Lalu mengapa aku bisa berada di tempat ini?”
“Kau lihat pemuda yang diarak dan dibakar tadi?”
“Itu juga yang menjadi pertanyaanku”
“Dia Syaqil, dia adalah putra pembesar bangsa kami, dia juga calon pemimpin bangsa kami, namun rupannya kakak tirinya Maroo juga menginginkan tahta tersebut”
“Lantas apa yang terjadi? Mengapa dia dibakar?”
“Kau lihat menara yang berdiri tegak di arah sana?” (menunjuk arah menara), aku terdiam, penasaran.
“Dipuncak menara itu terdapat Zuma, kristal biru yang kami anggap sebagai lambang kehormatan dan kemakmuran bangsa kami, entah sejak kapan Zuma berada ditempat itu, terlalu lama, tapi Maroo mencuri Zuma dan melemparkannya tepat disini, Maroo memfitnah Syaqil, saat itu hanya ada mereka berdua, tapi diam-diam aku melihatnya, oleh karena itu aku tahu apa yang sebenarnya terjadi, sayang, aku tak bisa membuktikannya, aku yakin Zuma jatuh ke duniamu, karena tempat ini adalah batas antara duniaku dan duniamu”
“Lalu Syaqil dibakar karena itu?”
“Iya!”
“Kemarin aku menemukan kristal biru, apa itu yang kau sebut Zuma?”
“Ya!”
“Lalu apa hubungannya denganku?”
“Setiap yang hidup disini, memiliki reinkarnasi diduniamu, dan kau adalah reinkarnasi Syaqil, mungkin itu sebabnya Zuma jatuh ke tanganmu”
“Lantas apa yang harus kulakukan?”
“Sekarang larilah dari arah sini, kembalilah keduniamu, cari Zuma dan bawa kemari, ingat, itu bukan milikmu, setelah kau menemukannya, pejamkan matamu dan katakan kau ingin kembali kemari, maka kau akan kembali, cepat lakukan, waktumu tidak banyak!”.
Aku tidak menjawab, seketika langsung kuberlari dan menuruti apa yang dikatakan Ruma, seperti melewati bundaran cahaya panjang, seperti lorong waktu, aku terjatuh, tepat di kamarku. Aku segera mencari Zuma, seingatku aku menggenggamnya saat tidur, kucari di tempat tidur, tidak ada, kucari sampai bawah tempat tidur, tidak ada juga. Kamarku berantakan, tetap tidak kutemukan. Lalu kudengar suara kucing dari arah balik pintu, “Mmmeeoong”, Aku mendekat, betapa gembiranya, akhirnya ku menemukan Zuma.
***
Kupejamkan mata, “Aku ingin kembali”, seketika itu pula ku kembali melalui lorong waktu, dan tiba di tempat itu.
“Kau berhasil!” tegas Ruma. ia terlihat bahagia.
“Lalu apa yang harus kulakukan?”
“Ikut aku”, Akupun mengikuti tiap langkah Ruma, menuju upacara pembakaran Syaqil.
“Paduka yang terhormat, tolong izinkan hamba bicara”
Suara Ruma terdengar di antara riuh upacara mereka, namun semua terdiam, ingin mendengarkan.
“Syaqil tidak mencuri Zuma, Maroo yang mengambilnya dan melemparkannya pada batas dunia kita, pemuda ini menemukannya. Jika hamba benar, Zuma akan berubah menjadi warna merah, bukti keberaniannya, namun jika hamba berdusta, maka Zuma menjadi hitam kelam atas kebohongan hamba”.
Seperti keajaiban, seketika Zuma berubah menjadi warna merah yang indah. Ia memancarkan cahayanya yang terang. Saat itu pula tiba-tiba Syaqil keluar dari api, aku terkejut bukan main. “Jangan heran, api penghukuman tidak akan membakar yang tidak bersalah”.
Aku mengerti, namun Maroo terlihat geram, dia mendekatiku. “Cepat pergi ke batas duniamu, jangan sampai Maroo melakukan sesuatu padamu. Cepat lari.. Cepat!!”
Aku langsung berlari ketika Ruma bicara seperti itu. Aku lari, lari dan lari, ketika hampir saja kumasuk pada bundaran angin yang seakan ingin memakanku, Maroo menarik tanganku, aku tak tahu apa yang akan terjadi jika kutetap berada di dunia gaib ini, Ruma dan Syaqil tiba-tiba muncul, ia melepaskan tarikan tanganku dari Maroo, “Cepat lari sekarang juga!”, aku berlari dan ah kubuka mata.
***
Yang terlihat adalah suasana kamar seperti biasannya, buku-buku yang tertata seperti biasanya, dan semua tak ada yng berubah, bahkan Zuma masih kugenggam di tanganku. Ternyata hanya mimpi.
*Cerpenis adalah siswi Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Buntet Pesantren Cirebon, Jawa Barat.
Mading Sekolah
0 komentar:
Posting Komentar