[caption id="attachment_858" align="alignleft" width="150"] Sumber Ilustrasi: Google.com[/caption]
Dilahirkan dalam keadaan yang sempurna, hidup yang tercukupi, dan memiliki orangtua yang lengkap, mungkin bisa dibilang dambaan bagi setiap orang. Tapi, hal itulah yang tak pernah dimiliki oleh Kalista, seorang anak panti asuhan yang tak jelas asal usulnya, satu hal yang ia miliki; ‘cerdas’, setidaknya itu tidak terlalu buruk.
“Ta, kamu pulang sama aku ya!”. Ajak Tia, teman sekelasnya. Seorang anak yang hidup dari keluarga berada, dan kedua orangtua yang sangat menyayanginya.
“Sorry Tia, aku dijemput ayah, aku mau di ajak jalan-jalan”. Senyum basi dan alasan alasan yang selalu di utarakan Kalista untuk menolak ajakan Tia, selalu itu-itu saja.
“Wah enak banget ya, ayah kamu tiap hari ‘ngajakin’ jalan-jalan, perhatian, dan sayang banget sama kamu, kamu beruntung Ta”. Hanya senyum terpaksa yang tersungging dari bibir Kalista.
“Ya udah aku duluan ya”. Sambung Tia.
“Ya, hati-hati ya, salam buat ortu kamu”. Tia pergi dan melambaikan tangannya, seperti biasa, tak ada yang berubah.
Kalistapun pulang dengan menaiki angkutan kota warna oranye, seperti biasa, hal yang ia ceritakan pada teman-temanya tentang kebahagiaan keluarga semua nya bohong, tak ada jalan lain, dia tidak mau dipandang sebelah mata dihadapan teman-temannya, tapi ia semakin tersiksa dengan sandiwara yang ia buat sendiri, terlebih pada Tia, sahabatnya.
“Tia sangat tulus berteman denganku, rasanya terlalu jahat jika aku terus membohongi nya, dia akan membenciku”. Hal yang kerap muncul di benak Kalista.
***
Kalisata tinggal di Panti Asuhan “Kasih Ibu”, Jakarta Selatan. Sejak usia 1 tahun, ia adalah korban anak hilang yang tidak ditemukan orangtuanya, akhirnya ia diserahkan ke panti asuhan oleh pihak kepolisian. Kalista selalu menolak tiap kali terdapat orangtua yang bermaksud mengadopsinya, Kalista yang sangat lucu dan ceria, banyak orangtua yang dibuatnya tertarik. Tapi dia selalu menangis sangat keras jika ada yang ingin merawatnya untuk hidup layak seperti anak anak yang lain, karena yang dia inginkan adalah oarangtua kandung, bukan orang tua angkat.
“Ayah, ibu, Kalista masih di sini, menunggu kalian menjemput Kalista. Apa Kalista salah jika ingin bahagia seperti anak-anak lainnya? Yang memiliki orangtua lengkap, cukup itu keinginan Kalista”. Rintihnya tiap malam, berharap suatu saat nanti orangtuanya akan datang menjemput.
23 Oktober, hari ulangtahun Kalista. Entah itu benar atau tidak. Sebenarnya itu adalah tanggal ketika pertama kalinya Kalista menginjakkan kakinya di panti asuhan, tapi tanggal itulah yang selalu dirayakan oleh Kalista. Ia menganggap itu memang benar-benar hari ulangtahunya, minimal iapun ingin merasakan apa yang dinamakan ulang tahun, seperti teman-teman sebayanya.
“Ta, aku gak nyangka, ternyata ulang tahun kita bareng, 23 Oktober, kita memang sahabat sejati ya, bagaiimana kalau nanti kita merayakannya bersam-sama? Aku ingin mengundang teman-teman dalam perayaan ini”. Ungkap Tia dengan kegiranganya.
Dua sahabat ini, selalu saja memiliki banyak kesan, dan itulah yang membuat mereka selalu saling membutuhkan, walaupun keduanya berasal dari keluarga yang berlatar belakang sangat berbdeda.
“Nggak Ta, aku mau merayakannya di Bandung, di rumah nenek. Sudah lama aku tidak kesana” .
“Aku mohon Ta, kali ini saja kamu mau, kenapa sih kamu selalu nolak ajakan aku?. Please”.
“Sorry Tia, aku tetap gak bisa. Orang tuaku ingin merayakannya di sana. Bersama keluarga besarku di bandung”.
“Oh, ya sudah, selamat bersenang-senang dengan keluargamu, aku harap suatu saat nanti kita bisa merayakannya bersama”.
“Sorry banget ya Tia?”
“It’s oke”.
“Kamu memang sahabatku yang paling baik”,
“Baru nyadar ?”.
“Hahaha”. Suasana tawapun pecah di antara mereka.
***
23 Oktober 2012, pukul 18. 30. ” Malam ini pesta ulangtahun Tia, tapi aku justru membohonginya dengan kabar keberadaanku di Bandung. Hah, Bandung mana? Nenek siapa? Tia pasti terkejut saat membaca suratku malam ini, akan kujadikan sebagai kado di malam ulang tahunnya, akan kuungkapkan semua, sebuah kado kejujuran.”
Kalista mengambil sebuah lilin angka 17, tak ada kue ulang tahun, tak ada ucapan khusus dari orang istimewa, tak ada hari bahagia.
“Ayah, ibu, kenapa sampai hari ini kalian belum jemput Kalista? Ayah, ibu, kalian di mana?”.
Malam ulang tahun Kalista diselimuti air matanya sendiri, ia memang tak seperti anak-anak yang lainny yang hidup bersama kedua orangtua.
“Happy birthday to me, happy birthday to me“. Tangis lirihnya seraya meniup lilin angka 17, Meski tak ada bedanya dengan malam malam yang lain. Sendiri.
***
Setelah perayaan ulang tahunnya selesai Tiapun membuka satu persatu kadonya, matanya tertuju pada sebuah amplop berwarna pink kesukaanya yang tertuliskan “dari Kalista”.
“Kalista?, bukanya dia di Bandung?”.
Tia, happy birthday, semoga panjang umur, maaf aku tak bisa menghadiri acara spesialmu, bukan karena aku sedang berada di Bandung, tapi aku tak sanggup untuk membuat sebuah pengakuan secara langsung, Tia sahabatku, sebenernya aku bukan Kalista putri keluarga kaya yang hampir setiap hari di ajak jalan-jalan oleh ayahnya. Aku bukan Kalista yang merayakan ulang tahun ke 17 di Bandung bersama keluarga besar. Aku hanya seorang anak panti asuhan yang terpisah dengan orang tuanya sejak usia 1 tahun, dan sampai sekarang aku tak pernah mengetahui tentatang orang tuaku sendiri. Tia sahabatku, Aku hanya ingin terlihat hidup bahagia sepertimu, seperti kalian semua. Sekali lagi maafkan aku. Aku tak pernah bermaksud untuk membohongimu. Tia sahabatku, sahabat terbaikku, maafkan aku”.
Kalista
Tia-pun terkejut, sebuah kado kebesaran hati dari Kalista, kado kejujuran dari sahabat terbaiknya.[]
* Siswi Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Buntet Pesantren, Cirebon, Jawa Barat.
Mading Sekolah
0 komentar:
Posting Komentar