728x90 AdSpace


  • Terbaru

    Selasa, 21 Januari 2014

    Kisah Anak Indigo


                Aku melangkah tanpa penghantar, aku bernafas tanpa kesegaran udara. Bagaikan debu di atas tanah. Aku berenang dan menyelam di dalam sungai kehidupan. Aku akui, aku memang tak seperti besi baja. Aku rapuh bagaikan tulang yang menderita osteoporosis. Aku adalah korban kekejaman. Mata yang berlinang air mata, tak di hiraukan oleh siapapun. Meski sudah ku tunjukan pada semua orang, bahwa aku sama seperti mereka, aku bisa tegar jika semua orang di sekeliling ku mau menghargai apa yang ku lakukan dan mau menyemangati ku disetiap langkah kehidupanku. Tapi nyatanya apa ? Tak ada seorangpun yang peduli terhadap nasibku.

    Aku hanya bisa menangis, kala teringat pada sosok malaikat yang aku pun tak tahu siapa dia. Memang aneh, tapi inilah hidup. Walau terkadang tak masuk di akal, tapi harus ku lalui. Meski penuh derai air mata. Aku lahir, aku hidup, aku tumbuh besar. Sama, tak ada bedanya dengan manusia lain. Tapi aku juga berbeda dengan manusia lain.

    Aku melukis senyum, aku mencoba mengukir kesan tegar pada diriku sendiri yang pada kenyataannya, aku menderita. Aku menangis. “Bukan hidup jika tak pernah menangis”. Kata Haniv, memberiku sebotol aqua gelas. Aku tak percaya keajaiban. Aku tak percaya akan magic yang semua orang percayai, bahwa ada terang setelah gelap. Buktinya, aku tak pernah menemukan titik terang pada masalah yang melilitku dari aku lahir ke dunia hingga sekarang.

    “Kau tahu?,” Tanya ku pada Haniv. “Aku tahu, dan aku yakin. Kau dapat berjalan lurus meski kerikil tajam itu kerap kali menusuk telapak kaki mu,” Jawabnya meninggalkan ku. Kata – kata itu selalu terngiang di telinga ku. Kelas sekolah ini selalu membuatku takut. Pengalaman pahit yang ku alami sudah terjadi berulang kali disini. Aku adalah anak indigo. Mungkin, tak banyak orang yang mau dekat dengan ku kecuali Haniv. Haniv adalah orang pertama yang percaya, bahwa apa yang ku miliki ini adalah takdir. Aku juga enggan, hidup dengan kelebihan yang tak biasa. Dan bahkan ini sering kali mengganggu kehidupanku.

    Hidupku sudah rumit. Di tambah lagi dengan keadaan ku. “Mengapa ? Harusnya kau bahagia. Apa kau nyaman dengan begini ? Setiap hari, tak pernah terlukis senyum ikhlas dari wajah mu. Yang ku lihat hanyalah senyum keterpaksaan.” Kata Haniv mendekati ku di tepi danau. “Aku adalah indigo. Hidupku selalu dibayangi makhluk yang tak jelas. Tak kasat mata. Menurut ku, itu tak begitu menakutkan. Hanya mengganggu ku. Kau tahu apa yang aku takutkan ?,” Perlahan ku jelaskan pada Haniv. Bahwa aku tak menyangkal jika aku memang mempunyai indera ke enam. Tapi aku juga tak pernah lelah bertanya, mengapa aku hidup disini tanpa orang tua ? Kemana mereka ? Aku tumbuh besar dengan orang tua angkat. Yang aku pun tak mengenali mereka sepenuhnya. Hatiku janggal saat ada pertanyaan “Siapa orang tua mu?,” Entah mengapa, aku bingung aku hendak menjawab apa? Karena aku nama mereka tak ada di hatiku. Bahkan aku juga tak tahu siapa aku.

    Berawal dari omongan orang. Aku memang tak sekaligus percaya, tapi semakin aku dewasa, aku semakin menemukan bukti bahwa aku memang hanyalah anak buangan dari orang tua asliku. Aku hanya bisa berdo’a, semoga adik – adik ku tak mengalami apa yang aku alami. Haniv hanya terdiam, tak menjawab dan terlihat peduli dengan apa yang terjadi padaku. “Aku pergi dulu, terima kasih untuk waktu mu” Ucapku dan bergegas pergi. Aku senang, aku merasa ada orang yang mau mengobrol nyaman dengan ku. Aku merasa dipedulikan. Tapi, aku juga tak ingin menampakan bahwa aku menangis.

    Menangis dalam duka. Duka yang terjadi pada diriku sendiri, aku memasuki ruangan pribadiku. Dimana, tiada satupun orang yang boleh memasuki ruangan ini tanpa terkecuali. Ruangan ini adalah saksi bisu kerapuhan ku. Kerapuhan seorang Neila. Aku hidup bak putri kerajaan pada zaman Fir’aun. Tak sedikit cobaan yang menghalangi kebahagiaanku. Di ruangan ini, ku curahkan semuanya. Dinding yang penuh dengan catatan yang ku tempel. Ku tergeletak tak berdaya di atas lantai yang berserakan karya tulis ku sendiri. Mata yang terpejam, berfantasi di dalam dunia mimpi. Seakan ku melayang menuju titik terang itu. Dengan harapan, saat aku terbangun, apa yang ada di dalam mimpi itu terbawa ke dalam kehidupanku. Aku bisa bertemu dengan malaikat yang telah membuangku hingga aku terdampar di keluarga ini.

    “Neila?,” Teriakan itu membangunkan ku. Dan benar, ibu angkat ku sudah mencariku. Aku berlari menuju halaman depan rumah. Dengan pakaian kusut dan rambut yang masih berantakan. “Dari mana kamu? Ayo bersiap. Hari ini, ibu pindahkan kamu ke pesantren.” Kata ibuku mengejutkan ku. “Apa? Pesantren? Mengapa bu?,” Tanya ku. “Sudah saatnya kau pergi kesana menemui teman ibu. Dan kau juga harus membiasakan diri hidup disana, karena calon suami mu ada disana.” Jelas ibu dan menarik tanganku masuk ke mobil. Aku hanya bisa menurut. Karena dalam hidupku, aku mempunyai prinsip. Aku akan menuruti semua permintaan ibu dan bapak, untuk membalas semua kebaikan mereka yang telah merawatku dari aku bayi hingga aku dewasa seperti sekarang. Prinsip itu memang agak sedikit gila. Karena dengan prinsip yang telah aku tanamkan dalam hidupku itu, aku harus rela dan ikhlas mengikuti semuanya perintah ibu dan bapak meski berlawanan dengan hati kecilku.

    Suara percikan air beserta suara gemuruh anak – anak kecil membangunkan ku. Ketika ku buka mata, pemandangan yang menakjubkan telah tersedia untuk mata ku di pagi hari. Seketika aku takjub dengan keindahan alam ini. “Subhanallah” gumam ku dalam hati. Mata ku enggan berpaling dari suguhan pemandangan ini. Hingga ku tak sadar, orang – orang memperhatikan ku dari ujung kaki sampai kepala ku. Aku menatap heran. Mengapa mereka? Ku putar badan, ku menoleh ke arah mobil. Ku coba tatap seluruh bayangan tubuhku. “Cepat mandi. Ganti pakaian mu dengan pakaian yang sepantasnya kau kenakan di lingkungan yang memang menanamkan ilmu agama.” Begitu kata seseorang dan langsung pergi dari hadapanku.

    Ini adalah hari pertamaku di pesantren. Semua santri disini ramah padaku. Ya, aku tak boleh senang dulu. Karena ini adalah awal. Awal mereka mengenal aku sebagai Neila yang biasa. Bukan Neila seorang anak indigo. “Assalamu’alaikum! Kak, santri baru ya?,” Sapa seorang wanita padaku di taman pesantren. “Wa’alaikum salam. Iya, apa kau bisa antar aku berkeliling pesantren?,” Jawabku memulai pembicaraan panjang dengan wanita itu. Dia baik, aku berkeliling lingkungan pesantren bersamanya. Terasa nyaman. Namanya adalah Siti. Cantik. Aku dan Siti mengobrolkan banyak hal, selama jalan – jalan ini. Terutama tentang pesantren ini.

    Di tengah jalan, indera ke enam ku mulai mengganggu ku lagi. Membuatku tak nyaman. Siti yang menyadari ketidak nyamanan ku ikut merasa resah. “Neila kenapa? Apa aku salah bicara?,” Tanyanya. “Aku tak apa” Jawabku gugup. “Ceritakan saja pada Siti. Siti janji, Siti akan jaga rahasia jika memang ini adalah rahasia mu”. Dan akhirnya aku ceritakan, aku tak peduli dia akan menjauhi ku seperti teman – teman ku dulu atau tidak. Karena aku sudah terbiasa dengan sikap seperti itu. Tapi jauh dengan perkiraanku. Siti tak menjauhi ku. Bahkan ia seperti Haniv. Ia peduli dengan ku dan menawarkan diri untuk menjadi sahabat dekat ku.

    Satu minggu ku ada disini, aku semakin nyaman dan menemukan arti sahabat sesungguhnya. Aku seakan terlupa akan semua masalah yang dulu sempat ku jadikan beban hidup. Aku tak pernah sendiri. Aku tak pernah merasa lemah diantara mereka. Karena aku tahu, aku bisa bangkit meski masih dengan tertatih. Dan aku sedikit percaya dengan magic. Dengan peribahasa bahwa akan ada pelangi setelah hujan. Akan ada tawa setelah tangis. Kini ku sedang merasakannya. Aku tertawa lepas, aku merasa hidup sekarang. Setelah selama ini aku terpuruk dengan keadaan ku.

    Hari ini, aku. Siti dan teman – teman santri yang lain berkumpul sepulang ngaji. Kita berdiskusi di taman pesantren untuk acara yang akan di adakan oleh Kepala Yayasan. Aku ditunjuk untuk mengisi acara. Aku akan mengiringi anak Kepala Yayasan solo vocal. Seperti duet. Aku bermain gitar dan anak dari Kepala Yayasan itu akan menyanyikan sebuah lagu. Diskusi kami sudah setengah jalan, tapi anak dari Kepala Yayasan itu tak kunjung datang. “Neila, nanti selain kamu jadi pengiring anak saya. Kamu juga tampil menjadi penceramah seperti santri lain ya! Saya ingin tahu, bagaimana cara kamu menyampaikannya kepada teman santri m yang lain di pesantren ini,” Pinta Kiyai Hasan. Kiyai Hasan adalah Kepala Yayasan di pesantren ini. Awalnya aku ragu untuk menetujui permintaannya, karena aku tak punya pengalaman untuk menjadi Da’i. Tapi untuk pembelajaran hidup, ku terima permintannya.

    Diskusi sudah hampir selesai. Dia baru datang. Dengan hati yang sedikit marah, ku terima permintaan maaf dan alasan Anton. Anton adalah anak Kiyai Hasan. Dan Anton adalah orang yang dulu mengagetkan ku. Menyuruhku mengenakan pakaian yang sepantasnya ku kenakan di pesantren. Lagi – lagi, apa yang ku sangka buruk ternyata tak seburuk yang ku bayangkan begitu pula sebaliknya. Anton sangat baik. Penyabar. Beda dengan kesan yang ia berikan saat pertama kali kita bertemu. Setelah diskusi ini selesai, Anton mengajakku bertemu di pinggir masjid.

    “Apa yang ingin kau katakan? Mengapa kau mengajakku bertemu disini?,” Tanya ku membuka obrolan. “Aku tak menyangka. Kau bisa cepat berubah. Pakaian mu juga sudah kau benarkan.” Ucapnya menggodaku. “Aku kira kau akan membicarakan hal serius dengan ku. Ternyata hanya ingin menggoda pakaian ku!,” Ucapku bergegas pergi. “Kau mau kemana? Aku hanya bercanda!,” Teriaknya saat aku dengannya berjarak cukup jauh. Aku hanya tersenyum dan menoleh ke arahnya sebentar. Aku bukan bermaksud marah atau menjauhinya. Tapi hari sudah malam, sedangkan peraturan disini, santri puteri tak diizinkan mengobrol berdua bersama santri putera lebih dari jam 9 malam.

    Hari – hari ku disini semakin menyenangkan ketika Anton hadir juga disini. Aku jadi ingat dengan perkataan ibu, santri mana yang ia maksud calon suami ku? Mengapa tak ia kenalkan? Padahal, aku di sini sudah cukup lama. Malam ini adalah malam dimana kesedihan itu datang lagi. Aku teringat ibu kandungku. Yang seharusnya malam ini menjadi malam latihan ku menjadi Da’i besok, aku malah berdiam diri di masjid sambil menangis menahan luka. “Ya Allah, mengapa setiap aku merindukan ibu, air mata ini selalu menetes? Seharusnya aku tak selemah ini. Aku sudah bukan Neila yang mudah rapuh. Aku harus tetap tegar meski aku hanya sendiri di dunia ini. Aku percaya pada-Mu. Suatu saat, ibu pasti datang menemui ku. Menyaksikan ku bersanding di pelaminan bersama dengan suami pilihanmu.” Tetesan air mata mulai berubah menjadi deras. Ternyata aku salah. Aku tetap Neila. Neila yang akan menangis saat ia merasa dibuang oleh ibunya sendiri. Neila akan tetap menangis, walau ia berada dalam keramaian jiwa. Seperti sekarang.

    Ditengah Do’a dan tangisan ku, Siti datang memeluk dan ikut hanyut dalam kesedihan ku. Ia hadir, ia datang menunjukan bahwa aku masih memilikinya. Ia datang memberiku harapan, bahwa apa yang ku inginkan bisa saja terjadi. Sama seperti dulu. Aku tak punya teman, dan Allah mengirimkan Siti untuk menjadi sahabatku. Begitu pula ibu. Jika nanti saatnya telah tiba. Ia pasti datang, sesuai dengan harapanku saat ini. “Kau harus kuat.” Kata Siti memegang tanganku.

    Keesokan harinya, aku terbangun dengan semangat. Karena hari ini adalah hari dimana pertama kali aku akan menjadi seorang Da’I dan gitaris diatas panggung acara yang bertajuk “Perbedaan Bukanlah Pernghalang”. Kami mengambil tema untuk acara ini adalah kebersamaan. Bahwa kita akan selalu bersama. Berdampingan. Walaupun kita berbeda budaya, bahasa tapi tetap satu agama. Dan kita akan selalu bersama walaupun kita memiliki kelebihan / kekurangan. Seperti ku. Indigo.

    Aku tampil pertama diatas panggung. Tubuh ku gemetar. Aku menjadi patung sejenak diatas selama 1 menit. Perkataan ku pun terbata – bata. Tapi dibawah panggung, Siti, Anton, Abi, Umi dan semua santri sabar menunggu gugup ku hilang. Tersenyum untuk menyemangatiku. Dan aku berhasil. Aku berhasil mengalahkan rasa gugup ku dan membuktikan pada mereka bahwa aku adalah Neila. Aku tampil apa adanya.

    Tepuk tangan yang meriah aku dapatkan lagi setelah aku tampil bersama Anton. Semua bersorak untukku. Kemudian, setelah semua kontestan tampil. Kiyai Hasan naik ke atas panggung. Ia mengatakan, bahwa acara ini ia buat sengaja untuk menyambut kedatanganku. Walaupun telat, tapi perlakuan Kiyai Hasan untuk ku terasa begitu mengejutkan untuk seisi pesamtren ini. Karena sebelumnya, santri baru tak pernah di perlakukan seperti umi dan Kiyai Hasan lakukan padaku. Kiyai Hasan adalah abi yang mampu menggantikan sosok bapak yang ku rindukan selama ini. Ia sangat menyayangiku. Begitu pula umi. Mereka berdua sudah menjadi ibu dan bapak ku. Ia menunjukan rasa sayang mereka yang begitu besar untukku. Entah mengapa, aku menyayangi mereka sama seperti aku menyayangi ibu dan bapak kandungku yang belum ku temukan. Aku menemukan sosok ibu dan bapak di dalam diri mereka yang selama ini tak ku temukan di dalam diri ibu dan bapak angkat ku.

    Ya Allah, aku mohon. Jangan pisahkan aku dengan abi dan umi. Semilir angin sore menutup hariku. Hari yang begitu membuatku bahagia. Semua santri senang dengan ku. Baru kali ini aku merasa di hargai dan dilihat. Aku sudah tidak pernah merasa bahwa aku tak beguna. Kejutan dari Allah memang tak pernah ada duanya untukku. “Kau senang?,” Tanya umi mendekati ku di bangku taman pesantren. “Senang umi. Terimakasih.” Jawabku memeluk umi Umayah. Pelukan hangat umi Umayah terasa begitu nyaman. Beda saat aku di peluk oleh ibu angkat ku dulu. Pelukan ini begitu penuh rasa sayang. Seperti seorang ibu pada anaknya. Tangannya yang juga membelai kepalaku, begitu penuh kasih. Aku seperti telah menemukan ibu ku.

    Hari ini, badan ku terasa ngilu. Dingin. Mungkin, aku telah. Semalam aku menghabiskan waktuku bersama umi Umayah di luar. Aku tak keluar kamar sekali pun hari ini. Umi yang menghampiriku membawakan aku makanan lengkap dengan paket kasih sayang beserta perhatiannya. Anton juga datang, tapi disaat aku berdua bersama Anton. Indera ke enam ku kembali bereaksi. Kali ini, aku benar – benar takut. Karena yang ku lihat, Anton yang sekarang dihadapan ku bukanlah Anton yang sesungguhnya. Ia melukai ku. Seakan macan yang sedang mencabik – cabik mangsanya dengan ganas.

    Aku berlari, tapi seakan ruangan ini tak terdapat pintu untuk ku keluar. Aku berteriak, namun seakan ruangan ini adalah ruangan lengkap dengan peredam suara. Tak ada yang mendengar jeritan ku. Tak ada yang menolongku. Hingga aku sudah kehabisa tenaga, aku merintih memohon kepada Allah. Bahwa aku sudah lelah. Aku tak dapat bertahan lagi, tubuhku sudah meminta untuk beristirahat. Beberapa saat kemudian, abi / Kiyai Hasan datang menemui ku. Ia menemukan ku tergeletak di lantai. Tanpa Anton atau siapapun di ruangan ini. Ia membawaku ke masjid. Semua santri mengerumuniku. Mereka berdo’a untuk keselamatan dan kesehatanku. Wajah yang pucat bersama air mata yang mengalir. Aku berusaha untuk berkata. Meski hanya sepotong kalimat. Ku mencoba meraih tangan abi dan umi. Ku genggam erat tangan mereka. Memberikan mereka isyarat, bahwa aku sangat butuh pertolongan. Aku sudah lelah. Aku tak dapat melawan ini sendirian.

    Beberapa saat kemudian, tubuhku lemas. Aku tak dapat bergerak sediktpun. Tangan ku yang menggenggam erat umi dan abi pun terlepas. Hanya telinga ku yang masih mendengar jeritan Siti. Tangisan umi dan bacaan ayat suci Al –Qur’an yang dibacakan oleh santri puteri maupun putera bersama Anton. 60 menit setelah itu, ku buka mata perlahan. Ku coba menatap semua orang yang ada di dalam masjid. Air mata ku kembali menetes. “Mana Ibu ku?,” Kata pertama yang ku ucapkan serempak mengejutkan umi dan abi. Mereka terkejut dengan apa yang ku katakan. “Aku adalah ibu mu Neila,” Jawab umi dengan tegas disertai air mata yang menggelinang di sekitar matanya. Tanpa pikir panjang, ku percayai perkataan umi. Karena aku memang menganggap umi sebagai ibu kandungku yang telah lama ku cari – cari.

    Aku mungkin memang egois, bodoh, jahat karena lebih menganggap umi sebagai ibu kandung ku disbanding ibu angkat ku sendiri. Yang telah merawatku selama ini. Tapi memang ini adalah kenyataannya, aku lebih percaya kepada umi Umayah dibandingkan ibu angkat ku sendiri yang sekarang entah kemana. Ia sudah tak pernah lagi menghubungiku setelah ia kirim aku ke pesantren ini. Dalam hidup, aku sudah di buang 2 kali oleh orang yang aku sayang. Dan kali ini, aku tak ingin ui melakukan hal yang sama. Aku tak ingin pisah dari mereka. Izinkan aku untuk bahagia Ya Allah. Aku janji aku tak akan membangkang pada perintah umi.

    Setelah kejadian itu, aku tak lagi menjadi indigo. Entah apa yang abi lakukan pada tubuhku. Sekarang, aku menjadi manusia normal. Hidup dengan sewajarnya dan tak pernah di ganggu oleh kejadian aneh yang membuat orang menjauhi ku. Haniv juga hadir disisiku lagi. Ia menjadi santri putera disini. Demi menjaga ku dari kejamnya dunia. Ia rela pindah sekolah ke pesantren ini. Dan ia juga menjadi teman baik Anton. Ketika aku mendapatkan keluarga yang ku anggap sebagai keluarga kandungku, aku juga mendapatkan Haniv. Lelak yang menaruh harapan padaku yang tak pernah padam hingga saat ini. Bu, dimanapun kau berada. Aku tetap menyayangimu, meski kau mengecewakanku, meski kau membuangku dan seakan tak mau memiliki anak seperti ku. Bu, aku tetap menunggu ibu disini. Aku tetap menyayangi ibu melebihi ibu angkat dan umi ku. Percayalah. Suatu saat kita akan bertemu, meski waktu masih menjadi musuh bebuyutan kita yang selalu menjadi penghalang diantara kita.

     

    by : Delvi Sulistin Monawati
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Posting Komentar

    Item Reviewed: Kisah Anak Indigo Rating: 5 Reviewed By: Jingga Media
    Scroll to Top