Oleh: Sobih Adnan*
[caption id="attachment_1065" align="alignleft" width="342"] Ilustrasi: www.madingsekolah.net[/caption]
Menulis puisi adalah merekam apa yang melintas di benak dan otak penyair ke dalam kertas, meskipun tidak selalu, pasalnya ada juga puisi yang ditulis oleh pengarangnya berdasarkan keterwakilan atau untuk mewakili sesuatu yang lain, maka jangan heran jika penulisnya perempuan tapi puisinya menggambarkan kelelakian atau sebaliknya, bahkan, beberapa puisi yang luar biasa ada pula seolah-olah ditulis bukan oleh manusia, karena memang tidak mewakili perasaan manusia, contoh puisi yang menceritakan pohon, air, gunung, laut, ataupun debu di jalanan.
Lepas dari itu semua, bagaimana sih puisi yang baik itu? Meskipun mungkin saya tidak bisa atau -tidak memiliki hak- untuk menilai puisi tersebut baik atau buruk, tapi paling tidak, puisi yang ‘renyah’ dan disukai banyak pembaca, benar-benar nyata di dunia, dan tetap memiki tujuan serta pesan itu seperti apa?, mengapa demikian?, karena tak jarang pula ditemukan anggapan bahwa puisi merupakan lintasan kata-kata yang indah belaka, tetapi dia kosong, mati, tanpa ruh, atau kasarnya dia ‘linglung’ karena tidak memiliki tujuan dan pesan apa-apa.
Puisi, terutama oleh para remaja dan pelajar tak jarang dianggap sebagai sesuatu yang ‘lemah’, maka menulis puisi seolah hanyalah diperuntukkan bagi seorang pengangguran yang cengeng, merana, sekaligus seseorang yang sedang dilanda kegusaran atau galau lebih tepatnya. Ada lagi, puisi dianggap sebagai sebuah alat untuk melampiaskan ‘kegombalan’, wah, kalau sudah seperti ini, kacau namanya.
Apakah tidak pernah membaca dan mengingat, bagaimana penyair-penyair dahulu mengubah lingkungannya, bangsanya, negaranya, hanya melalui beberapa bait puisi saja? Chairil Anwar ataupun almarhum WS Rendra yang dengan puisi-puisi gagahnya, bukankah mampu mengubah dan memengaruhi ruang yang mereka tempati?.
Seperti itu, intinya, puisi yang baik adalah tentu puisi yang indah, namun tetap memiliki dan mengandung pesan, tujuan, dan jiwa sehingga mampu memberikan manfaat sekaligus pencerahan bagi para pembacanya, jika ingin lebih, puisi itu dapat harus mengubah dan mengantarkan lingkungan sekitarnya kepada kehidupan yang lebih baik.
Jadi, apa saja yang perlu dikedepankan seorang penulis atau penyair agar mampu melahirkan puisi yang baik? Kira-kra dengan tahapan seperti berikut;
1. Renungkan dan bebaskan
Berpuisi, tentu harus bermula dari sebuah permenungan. Setidaknya apa yang menjadi perhatian besar penulis adalah hal terpenting. Selanjutnya, inilah awal mula penentuan tema. Keumuman penyair biasanya menemukan pintu permenungan melalui sebuah kegelisahan, kegelisahan yang dipengaruhi keadaan sekitarnya, dan lain-lain. Kemudian, hal tersebut menjadi perhatian penting sehingga menjadi bahan bakar untuk mulai menuliskan puisinya.
Apa saja bisa dijadikan sebuah tema, bukan hanya cinta yang berpusat pada hubungan antar lawan jenis, rindu, malam, sepi, ataupun kecenderungan lain yang biasa terangkat oleh seseorang tentang sebuah hasil yang dianggapnya sebagai puisi. Cobalah merenungkan hal-hal yang lebih mudah untuk ditemukan, semisal sampah yang bertumpukan, kebiasaan buruk tawuran pelajar, kemalasan belajar, masa depan, atau bahkan kucing kesayangan yang manja saat disuguhi makan, dan lain-lain. Lagi-lagi, terutama cinta, tema cinta memang paling strategis untuk sebuah penulisan puisi, namun jangan sampai makna cinta itu hanya terpenjara kepada hubungan laki-laki dan perempuan, atau sebaliknya. Cinta, sebenarnya dapat diterjemahkan kepada hal-hal yang lebih luas, dan ini yang juga akan membebaskan puisi dari kesan-kesan sebagai lambang ‘kegalauan’ dan alat penggombal. Coba tuliskan bagaimana kecintaan kita terhadap tanah kelahiran, orang tua, atau bahkan, kepada tas sekolah kesayangan. Inilah yang akan menghasilkan puisi kita lebih menarik, dan memiliki nilai yang berbeda.
Selain merenung, puisi juga harus membebaskan dan dibebaskan. Membebaskan apa? Dan dibebaskan dari apa?, begini, puisi harus dihadirkan sebagai alat untuk membebaskan apapun yang memiliki kesan keterkekangan, ketidak-puasan terhadap keadaan yang diterima dan ditemui penyair, biasanya ikhtiar membebaskan hal tersebut melalui sebuah pisau bernama puisi. Dalam dunia pelajar, trend tawuran, bolos, narkoba, atau paling tidak tentang kemalasan siswa adalah bukan bentuk terkekangan? Jika dijawab dengan kata ‘tidak’ maka ruh kepenyairan seseorang bisa jadi sangat diragukan. Maka ditemukanlah sebuah makna keterkekangan itu apa? Yakni, sesuatu yang dapat merugikan dan tidak menguntungkan.
Kemudian dibebaskan? Puisi harus dibebaskan? Berarti puisi juga memiliki bentuk keterkekangan? Ya, meskipun dengan makna keterkekangan yang berbeda. Seorang penyair, sering kali dalam menulis puisi terikat oleh ketentuan rima, atau penyelarasan nada di akhir setiap barisnya. Sebenarnya ada hal menarik berkaitan dengan karya seorang penyair dan hal-hal yang bersifat intrinsik dalam puisi, di sepanjang perkembangannya, puisi boleh tak terikat oleh rima, atau, rima tidak ditentukan oleh kesamaan bentuk suara huruf akhir, bisa jadi, rima adalah jeda perjeda kata yang menjadikan puisi tersebut nyaman untuk dinikmati pembaca. Atau apapun itu, puisi harus terlahir dalam keadaan yang terbebas, terkecuali terbebas dari pesan dan tujuan, atau hal-hal yang melepaskannya dari sebuah bingkai besar kesusasteraan.
2. Jangan Berbohong
Dalam menulis puisi, penyair tidak boleh berbohong. Maksudnya? Bukankah majas atau kalimat kiasan yang biasa digunakan oleh penulis puisi juga bukan makna sebenarnya? Atau apakah harus menulis dengan kata-kata yang apa adanya? Wah, bukan puisi dong kalau seperti itu?. Tidak, maksudnya seperti ini. Dalam menulis puisi penting meneguhkan sebuah kejujuran kecil seperti ini, dalam mengumpamakan seseorang misalnya, kita kerap menuliskan “Kau indah layaknya bunga Sakura”, pertanyaannya adalah jika kita yang menulis seperti itu, kapankah kita benar-benar melihat bunga Sakura? Kapan terakhir kali pergi ke Jepang? Atau apakah penulis tahu betul seperti apa bentuk bunga Sakura?. Bisa juga contoh seperti dalam puisi seperti ini, “Kulitmu putih bagaikan salju”, nah, jika puisi tersebut dihasilkan oleh penyair Cirebon dan tidak pernah ke negeri yang bersalju, kira-kira muncul pertanyaan kapankah di Cirebon turun salju?, atau lagi, “Pagiku diganggu jerit kendaraan bermotor yang lalu lalang, gedung-gedung tinggipun menjadi saksi”, dan nyatanya, puisi tersebut ditulis oleh penyair dengan lokasi di pelosok desa yang hening, sejuk, dan asri.
Jadi, entah hal-hal di atas layak dimasukkan dalam kategori kejujuran atau kebohongan, yang jelas, penyair harus sepandai mungkin menghindari hal-hal yang sebenarnya terlepas jauh dari ruang permenungan lingkungan sekitar. Ditambah lagi, bisa jadi hal tersebut bisa memunculkan keraguan di benak pembaca, apakah puisi ini terlahir dari sebuah ketulusan, atau sekedar permainan kata dan perumpamaan penulis saja.
3. Tidak Terlalu Bersayap
Bersayap? Emang burung? Bukan, seperti ini, kandungan metafora dan majas memang menjadi semacam hal terpenting dalam puisi, seolah-olah jika tanpanya, puisi akan sangat ragu untuk disebut sebagai puisi. Namun yang dimaksud dengan tidak boleh terlalu bersayap adalah penyertaan metafora dan makna sebenarnya harus seimbang, atau paling tidak, jangan sampai pembaca secara total tidak dapat menemukan pesan pembaca dikarenakan puisi yang hadir terlalu bermajas, bermetafor, terbang ke awang-awang, tanpa menginjakkan kakinya di bumi makna yang sebenarnya.
Sebuah puisi dikatakan terlalu bersayap atau tidak, sebenarnya bisa memelajari teori penulisan pantun, meskipun tidak secara teratur dan tuntas, dalam arti, dalam penulisan pantun terdapat kriteria ‘sampiran’ dan ‘isi’, sampiran sebagai kiasan atau penempatan makna yang lain, sedangkan isi adalah alat untuk menggambarkan pengertian, ya, meskipun tidak mesti tersusun dan sesuai total sesuai dengan teori penulisan pantun, paling tidak hal tersebut bisa dijadikan sebuat patokan untuk menulis puisi yang baik, tanpa mengabaikan pesan bagi para pembaca. Meskipun setelah itu, lagi-lagi makna dan pesan puisi adalah hak mutlak bagi pembaca, penyair tidak dapat menolak makna lain yang ditemukan oleh para pembaca puisinya.
4. Bermain Lompatan Makna
Lompatan makna, belajar banyaklah tentang penggunaan makna yang sama namun di dalamnya memiliki perluasan, atau dengannya kita menemukan dunia lain yang tidak begitu jauh. Untuk trik ini saya langsung kutip salah satu puisi yang mencoba untuk mengedepankan hal tersebut.
Danau matamu,
Bening,
Ikan-ikan bergerak membuatku panik,
Apa yang akan kujadikan pancing,
Dan membuatmu jatuh cinta kepadaku.
(Kitab Nikah, Puisi Sobih Adnan, KOMPAS.Com, 6 Juni 2013)
Danau, bening, ikan, pancing, dan menjadikan objek yang dimaksud jatuh cinta adalah salah satu bentuk lompatan makna yang dimaksud. Danau yang bening kemudian terdapat ikan adalah hal nyata dan mudah untuk ditemui, seangkan penguatan makna puisi terdapat pada kata “mata”, dan usaha untuk memunculkan rasa cinta itu sendiri.
Sebenarnya, banyak jalan untuk menempuh trik ini dengan baik, satu wajah lagi muncul ketika si penulis puisi memadukan hubungan sebab-akibat namun dengan kekuatan makna yang lebih diperluas. Seperti puisi berikut;
Buk,
Terkadang aku terlalu dungu,
Seisi kitab yang kutemukan hanya namamu.
(Nyantri, Kumpulan Puisi “Lamar”, Hal. 56, 2013)
“Kedunguan” yang dialaskan kepada ketidak-mampuan menemukan nama selain ibu penulis adalah sebuah lompatan makna dengan perpaduan makna dasar dan makna yang lebih diperluas.
5. Deskripsi
Sebelum menulis puisi cobalah untuk mengamati hal-hal sekeliling dengan teliti, dan mulailah untuk belajar mendeskripsikan dengan tuntas. Semisal mendeskripsikan sebuah kamar pribadi, mulailah mengamati lalu mencatat dari mulai ukuran ruangan, warna cat dinding, bentuk jendela, posisi selimut, buku, tata letak televisi atau komputer, jumlah baju yang menggantung, merk selimut dan sprei, atau hal apapun sedetail mungkin, sehingga kita memastikan, siapapun orang yang akan membaca catatan tersebut akan sangat mudah untuk membayangkan kondisi kamar si penulis. Barulah dari pelatihan deskripsi tersebut, kita akan lebih terbiasa untuk mendeskripsikan hal-hal yang lebih luas atau bahkan samar, seperti mendeskripsikan alam, manusia, masyarakat, agama, masa depan, dan lainnya.
Bagaimana posisi deskripsi dalam puisi? Meskipun tidak sepenting dalam penulisan cerita pendek, akan tetapi pendeskripsian dalam puisi akan memberikan nilai tambah dikarenakan pembaca akan menemukan sebuah keasyikan tersendiri untuk menelusuri puisi si penyair dari setiap bait ke bait.
6. Idiom Lokal
Pengertian idiom lokal adalah penggunaan sebuah kata yang hanya biasa ditemukan di sekitar lingkungan penulis saja. Masing-masing lokak atau daerah, terlebih di Indonesia tentu memiliki keragaman ciri khas, terutama dalam hal pengucapan kata yang biasa digunakan. Hal ini akan menjadi menarik jika diturut-sertakan dalam penulisan sebuah puisi.
Namun ada beberapa hal yang mesti diperhatikan dalam pencatutan sebuah idiom lokal dalam puisi. Pertama, tidak boleh terlalu banyak. Jika dipaksakan, maka bisa-bisa akan mengaburkan makna dan pesan puisi itu sendiri. Kedua, dapat dijadikan sebagai alternatif saat memang mengalami kebuntuan untuk mengungkapkannya dalam bentuk bahasa Indonesia murni, semisal kata sandakala, di daerah Jawa, kata tersebut digunakan untuk menunjukkan waktu antara Ashar dan Maghrib, atau jelang petang, yang memang tidak terdapat kata yang praktis dalam bahasa baku. Yang ketiga, penulis puisi tetap memiliki tanggung jawab untuk menggambarkan maksud idiom lokal tersebut melalui rangkaian diksi yang lebih umum setelahnya.
Dalam penulisan puisi yang saya maksud, idiom lokal sebenarnya tidak hanya menyangkut dalam hal bahasa dan kedaerahan, akan tetapi bisa juga tentang kalangan atau ruang di mana si penyair tersebut hidup untuk menulis puisi. Di dunia pelajar misalnya, idiom lokal banyak ditemukan melalui diksi-diksi yang hanya dipahami dan digunakan secara akrab oleh para remaja dan siswa, semisal bolos, wiyatamandala, cupu, ataupun yang lainnya.
Adapun fungsi tentang penggunaan idiom lokal dalam penulisan puisi adalah sebagai penguat karakter dan latar belakang kehidupan penyair. Hal ini penting, agar penyair mampu berdiri sendiri, tanpa condong dan terikat pada karya-karya lain, dan lebih baik lagi adalah dengan tujuan menghindarkan diri dari tradisi buruk plagiasi.
7. Bermodal KBBI
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah modal utama bagi para penulis di Indonesia. Sebuah kumpulan kata baku ini menjadi penting untuk tetap digunakan agar karya penulis menjadi lebih tertib dan teratur dalam penggunaan bahasa. Kita bisa membayangkan, jika penulisnya saja mulai sudah serampangan menggunakan bahasa Indonesia. Tradisi berbahasa Indonesia dengan baik ini juga penting untuk diterapkan dalam penulisan puisi.
Kita bisa telaah bagaimana teman-teman lain yang mencoba menulis puisi di jejaring sosial facebook misalnya, dapat diamati beberapa pengguna facebook yang gemar berpuisi justru mengabaikan pola bahasa baku yang sangat penting tersebut, maka wajar jika kelahiran bahasa baru yang oleh masyarakat disebut dengan bahasa ‘alay’ tersebut dianggap kurang baik dan dapat mengurangi nilai kesusasteraan yang ‘mungkin’ sedang mereka bangun dengan caranya sendiri.
Nilai kesusasteraan tidak hanya muncul dari bagaimana si penyair mengungkapakan pesan melalui serangkaian kata-kata indah. Namun, kesesuaian diksi yang digunakan dengan teori penggunaan bahasa baku akan memengaruhi nilai apakah si penyair tersebut sudah dewasa dalam berbahasa atau tidak sama sekali.
Penggunaan bahasa baku tidak hanya berkaitan dengan penganalisaan apakah kata-kata yang digunakan sesuai dengan KBBI atau belum? Akan tetapi merasuk sampai proses penulisan dan tanda baca yang digunakan di dalamnya, seperti salah satu contoh puisi berikut;
Oooh Ibu ...
Aku rindu padamu.
Dalam puisi tersebut, mengapa dituliskan tiga huruf O dalam kata Oh, dan peletakan tiga titik berderet setelah kata ibu. Penulisan seperti ini memang pernah muncul dalam tradisi kesusasteraan, terutama dalam puisi, ‘mungkin’ menunjukkan intonasi panjang-pendek pelafalan. Akan tetapi dalam etika penulisannya, puisi seperti ini lebih baik hanya dibatasi dengan tanda koma (,), atau dengan jumlah huruf yang semestinya saja. Karena, teori pembacaan puisi akan mengalami seri pembelajaran yang lain dan harus dibedakan dengan proses penulisan puisi.
8. Hemat Konjungsi
Konjungsi atau kata hubung biasanya mendapatkan masalah di penulisan karya sastra yang panjang, seperti penulisan cerpen, novel, dan lain-lain. Namun ternyata, dalam puisipun penting untuk memperhatikan masalah penggunaan konjungsi.
Terdapat dua cara yang menjadikan puisi mendapatkan nilai tambah dalam penggunaan konjungsi. Pertama, hematlah penggunaan konjungsi, kurangi kata dan, dengan, lalu, kemudian, setelah itu, dan lain-lain, jika hal itu tidak sampai merusak pesan puisi yang ingin disampaikan kepada pembaca. Buatlah puisi dengan sepadat mungkin, dan berpikr ulanglah saat harus menggunakan dan menambahkan konjungsi. Kedua, pandai-pandailah untuk tidak mengulang konjungsi yang sama dan membosankan, dan untuk mengantisipasi itu, terutama dalam penulisan cerita pendek, kita harus memperkaya pengetahuan tentang persamaan kata. Semisal persamaan kata kemudian adalah; lalu, setelah itu, berikutnya, selanjutnya, dan lain-lain, meskipun tidak secara total kata-kata tersebut memiliki sebuah kesamaan dalam hal pemaknaan.
9. Personalisasi
Personalisasi ini juga merupakan bagian penting untuk menambahkan nilai pada karya puisi. Penyair bisa menambahkan sebuah penyebutan yang ‘sebenarnya’ itu hanya terkhususkan dalam dunianya sendiri. Seperti menyabutkan nama orang atau objek yang ditujunya dalam sebuah puisi, atau melalui kata sebut yang tidak banyak digunakan oleh khalayak umum. Seperti pencantuman nama sapaan orang Zie, Fatimah, Lulu, Pram, dan lain-lain. Ataupun, sapaan yang lebih umum semisal Neng, Mas, Kawan, Istriku, Suamiku, dan sebagainya.
Tidak sebatas itu, personalisasi juga dapat dilakukan dengan melalui penyebutan nama lokasi, kedaerahan, atau nama-nama yang mengusung kekhasan lain. Secara fungsi dan tujuan, personalisasi memiliki posisi yang sama dengan idiom lokal, yakni memperkuat karakter dan latar belakang penulisnya, sehingga secara otomatis akan memberikan nilai tambah pada karya puisi yang telah dihasilkannya.
10. Selamat dalam tulisan, juga bacaan?
Terakhir, sebuah karya puisi bisa diperjuangkan nilai tambahnya melalui pengamatan akhir dalam perjalanan proses penulisan. Pengamatan akhir tersebut di antaranya melalui pengukuran apakah pembaca sudah mendapatkan kenyamanan dalam menelusuri karya puisi yang dibentuk atau belum. Bisa ditelaah lebih lanjut, faktor-faktor kenyamanan pembaca di antaranya adalah ukuran jeda-perjeda yang dulu bisa dijawab dengan penggunaan fungsi teori rima atau bentuk suara akhir pada setiap baris puisi.
Seri penulisan dengan pembacaan puisi memang memiliki perbedaan yang tajam. Dengan bukti, ada beberapa penyair yang pandai menulis puisi tapi tidak handal saat membacakannya, atau penulis puisi yang hebat di panggung, tapi biasa saja dalam segi penggunaan diksi dan penyampaian pesannya dalam puisi. Ini menjadi penting, agar penulis mampu menemukan nilai tambah dengan sebab mampu memadukan dan memelajari kedua peluang tersebut.
Demikian teman semua, selebihnya, lingkungan pelajar dan sekolah akan memberikan banyak peluang untuk teman-teman mulai menulis puisi, dan menempelkannya di majalah dinding sekolah masing-masing, dan jangan disangka jika ada beberapa pembaca yang mengatakan bahwa karya teman-teman kali ini ‘sangat luar biasa’. Semangat.
* Penulis adalah salah satu dewan pakar di madingsekolah.net, buku yang pernah diterbitkan antara lain kumpulan puisi ‘Nyanyian Gagang Telepon’ (BukuPop, Jakarta Selatan; 2009), Kumpulan Puisi Penyair Lintas Daerah ‘Indonesia dalam Titik 13’ (IdeKreatif, Surabaya; 2013), dan kumpulan puisi ‘Lamar: Menikahi Air, Api, dan Tanah Indonesia (BukuPop, Jakarta Selatan; 2013). Facebook: Sobih Adnan | Twiter : @SobihAdnan | Blog : www.sobihadnan.net
Mading Sekolah
0 komentar:
Posting Komentar