Cerpen Delvi Sulistin Monawati*
Malam indah bertaburan bintang di langit, hening, hati penuh tenang, tenang dalam jiwa. Kuhembuskan nafas perlahan, udara sejuk merasuk, membuatku rindu. Pikiran melompat ke masa-masa di mana kau dan aku selalu bersama, menyaksikan bintang, menikmati malam yang tenang.
"Untuk apa aku mengingat semuanya? untuk apa kurindukan insan yang sudah melukai perasaanku?,” Gumamku, dalam hati.
“Sica?,” sapa seseorang dibelakangku.
“Ya?,”
“Hmmm, sejuknya,” Ucapnya sembari duduk di sebelahku.
“Untuk apa kau datang?,”
“Menemanimu, tentunya,”
Henry, mengapa laki-laki ini tetiba datang di saat aku benar-benar teringat kepada Steff?
“Mengapa kau melamun? Memikirkan Steff?,” Tanya Henry.
“Tidak, aku hanya sedang ingin menikmati malam,”
“Memikirkanku?,”
“Tentu tidak!,”
***
06.30 pagi aku berangkat sekolah, setiba di depan kelas, tak sengaja kujumpai Steff, kami tak saling sapa sama sekali, sekedar senyum yang saling mengukir di bibir masing-masing.
Brak!, tiba-tiba aku terdorong membentur tembok, kepalaku berdarah, pening sekali rasanya, dalam pandanganku yang mulai samar, rupanya salah seorang temanku sengaja menabrak dan mendorongku hingga membuatku tersungkur, tak ada yang peduli sama sekali.
Ku coba bangkit dan berjalan menuju kelas, tapi kakiku lemas, aku hampir terjatuh, tapi tiba-tiba Henry datang menolongku.
"Mengapa kau? Apa yg terjadi?," Tanya Henry, panik.
Aku terdiam sejenak lalu menceritakan perlahan sembari mengatur nafas, tangan kananku memegang kepala, Henry membawaku ke ruang kesehatan sekolah.
"Pegang dia!, Bawa dia masuk, jangan tinggalkan ia sebelum aku kembali, mengerti steff?," Ucap Henry keras, lalu ia bergegas pergi.
Stef? Diakah yang kini sedang memegang pundakku?, seorang pria yang kusukai namun tak pernah berbalikmenyukaiku.
"Kau kenapa? Sakit? Kau terlihat sangat pucat dan lemah, ayo kita masuk," Ucap steff sembari membawaku masuk ruang kesehatan.
Seketika itu tubuhku menjadi lemas, tak sadarkan diri.
***
Steff, aku sedikt bergumam, nama itu seperti goresan dalam sebatang pohon yang tak mungkin terhapuskan.
“Sica? Kau sudah bangun? Bagaimana kondisimu? Apa sudah baik? Aku sangat mengkhawatirkanmu,” Tanya Henry.
“Hey, Kau tak suka dengan kehadiranku?,” Tanya Henry kembali,
“Suka, terima kasih kau telah peduli padaku saat semua teman-teman tak satupun peduli dengan keadaanku,”
“Ya, untukmu apapun akan kulakukan, aku akan menjagamu,”
Henry memang satu satunya orang yg ada disisiku saat aku membutuhkannya..
Henry memang berbeda dengan Steff, terlebih teman lainnya, dia hadir di saat apapun, saat senang, sedih, dan susah sekalipun, tapi tentang rasa, aku tak bisa berpaling, Steff masih saja merajai hati ini.
“Sica, Sica!,” sebuah sentak sapaan membuyarkan pikiranku. Tiba-tiba Steff menghampiri.
“Sica, ada yg ingin aku sampaikan padamu,” Ucap Steff dengan wajah berduka.
“Apa? Mengapa wajahmu seperti itu? Apa yg terjadi?,” Tanyaku penasaran.
“Ayah, ayahmu, juga ibumu,” Jawab Steff terbata-bata.
“Ada apa? Cepat katakan padaku!”, Tanyaku sedikit membentaknya.
“Sica, mengapa kau berteriak seperti itu?,” Henry turut menenangkanku.
“Ayo bicara Steff, jangan buatku penasaran,” tanyaku lagi.
“Ayah dan ibumu kecelakaan, Sica,” Ungkap Steff.
Aku terkejut, belum usai kupikirkan persoalan-persoalan manja tentang kedua teman lelakiku, hal yang terpenting, orang tuaku justru membuatku bertambah panik hari ini. Rasaku mencintai ayah juga ibu melebihi segalanya, tubuhku kembali bertambah lemas, tak tahu apa yang mesti kulakukan, selain menangis, tersedu-sedu.
“Bagaimana keadaan mereka sekarang? Di rumah sakit mana?” Tanyaku kepada Steff.
Di sepanjang perjalanan ke rumah sakit, ketermenungan ini lebih jauh dan lambat terasa, segala kisah kasih sayang yang pernah ayah-ibu torehkan kembali terputar kencang di kepalaku. Steff dan Henry turut menemani, namun tetap saja, aku masih merasa sendiri.
Bersambung ...
* Siswi SMAN 1 Lemahabang Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.
Mading Sekolah
0 komentar:
Posting Komentar