Cerpen Aulia Aura*
Triing.... Triiing...
Bel tanda istirahat berdenting. Semua murid di sekolahku berhamburan keluar tak terkecuali aku dan kedua sahabatku. Kami dikenal sebagai Tiga Sekawan. Karena kami selalu bertiga kemana pun kami pergi, tapi tak termasuk kamar mandi loh ya!.
Sampai di kantin kami langsung menduduki meja yang terletak di pojok. Dari tempat itu bisa terlihat taman sekolah kami yang terlihat masih asri. Kami memang selalu duduk di meja itu. Saat sedang asik menyantap makanan, tiba-tiba saja suasana kantin yang awalnya biasa menjadi sangat ramai akibat suara teriakan histeris dari anak-anak cewek di sana.
“Ada apa?” tanya Akbar, sahabatku. Lani dan aku tidak perlu bertanya, karena kami sudah tahu jawabannya. Penyebab semua teriakan itu adalah kehadiran Gio, cowok paling kece di sekolah. Teriakan cewek-cewek makin keras ketika Gio melangkah ke mejaku.
“Mentari, siang ini ada waktu?” tanya Gio yang membuat suasana di kantin ini semakin riuh oleh sorak sorai cewek-cewek.
Sebelum menjawabnya, aku melirik kedua sahabatku meminta tanggapan mereka. “Ga ko, emang kenapa?” jawabku pada akhirnya.
“Nanti siang jalan yuk?” pinta cowok kece itu. Aku tak menyangka Gio akan mengajakku jalan. Aku gugup setengah mati. Ya, aku juga termasuk cewek yang suka sama Gio, siapa sih emangnya yang ga suka sama dia? Lani juga suka ko.
“Boleh, aku mau ko,” jawabku.
“Nanti aku tunggu di depan kelasmu, ok?” ujar Gio sambil mengedipkan mata sebelum dia pergi.
“Kamu hebat! Lucky banget sih kamu,” ujar Lani.
“Kamu kenapa sih mau aja terima ajakan Gio? Dari sekian banyak cewek kenapa dia harus milih kamu sih?” cerocos Akbar.
“Kenapa sih kamu, Bar? Ya aku juga gatau kalo dia milih aku lagian aku terima ajakan dia kan kamu tau sendiri aku juga suka sama dia,” jawabku sambil bangkit dari tempat duduk. Baru juga membalikkan badan tiba-tiba saja sebuah tangan melayang ke pipiku.
“Julie! Apa-apaan kamu menampar orang sembarangan, hah? Ada masalah apa sebenarnya?” tanya Akbar.
“Tentunya dia salah besar. Dia berusaha mau merebut Gio dariku!!!” bentak julie, dia adalah cewek yang kabarnya sih jadi tunangannya Gio tapi tak pernah Gio acuhkan.
“Dengar ya, ga ada yang bisa merebut Gio dariku termasuk kamu. Kamu lihat? cincin ini adalah bukti bahwa aku dan Gio sudah bertunangan. Jadi jauh-jauh dari Gio. Kamu ngerti?” tukasnya dengan nada kasar, “Kalau kamu masih berani deketin Gio, aku tak segan untuk membunuh kamu!!” ancam cewek yang emang memiliki penyakit saiko itu lalu dia pergi.
“Tari, kamu denger sendiri kan tadi. Julie udah ada niat buat bunuh kamu. Jadi tolong jangan mau deket sama Gio. Please aku mohon, Tari,” tukas Akbar dengan nada gelisah.
“Tari, bener juga sih kata Akbar. Kamu harus hati-hati sama Julie bisa jadi dia serius sama omongannya tadi,” lanjut Lani.
“Bar, tenang aja aku bisa jaga diri ko. Jadi jangan terlalu khawatirin aku, yaa? Iya Lan, aku akan hati-hati,” jawabku menenangkan mereka berdua.
---
Siangnya aku dan Gio tetap jalan meski sudah berulang kali Akbar melarangku dan Lani yang juga mengkhawatirkanku. Kami berdua jalan ke sebuah mall besar di Jakarta. Kami nonton dan juga makan di sana. Sampai pada akhirnya Gio nembak aku. “Gimana ya Gio, aku pikir-pikir dulu yaa. Gapapa kan?” tanyaku. Lalu ia menjawab, “Iya, ga apa-apa ko.”
Malamnya aku cerita tentang itu semua kepada kedua sahabatku. Tentunya Akbar tidak setuju alasannya karena Julie. Dan pada akhirnya Lani juga ikut-ikutan. Mereka semua mengkhawatirkan aku.
“Aku tau resikonya dan aku siap. Aku bisa ko jaga diri aku dan pastinya Gio nanti akan melindungi aku. Tenang aja sobat,” kataku sambil menepuk pundak mereka berdua.
Tiba-tiba Akbar bangkit lalu ia pergi begitu saja. Sepertinya ia marah. Setelah kejadian hari itu Aku dan Gio resmi berpacaran, semua orang tau termasuk Julie. Dan semenjak itu juga Akbar marah besar padaku, ia tak mau berbicara denganku bahkan saat bertemu pun seperti tak pernah kenal.
Sudah tepat sepekan kami berpacaran, tetapi sikap Julie biasa saja. Kupikir dia sudah bisa menerima kenyataan bahwa Gio memilih aku. Dan hari ini juga Akbar sudah mau berbicara padaku sehingga saat istirahat aku habiskan bersama sahabatku. Semenjak berpacaran dengan Gio aku biasa pulang bersamanya. Tetapi hari ini Akbar mengajakku pulang bersama-sama.
Tepat saat ingin menyebrang jalan, ada sebuah mobil sedang melaju kencang ke arahku.
“Mentari, awaass!!” teriak Akbar. Dengan cekatan ia menarikku sehingga Akbar tertabrak mobil itu. Ia terpental jauh dari tempatnya semula. Aku dan Lani tak percaya melihatnya. Segera kami berlari menuju tubuh Akbar yang terkapar di jalan.
“Akbar, bangun! Akbar bangun,” teriakku berusaha membangunkan Akbar sambil memapah kepalanya. Sekujur tubuh Akbar saat itu penuh darah, ia terluka parah.
“Akbar bangun!! Please Akbar,” pinta Lani, ia sudah menangis sejadi-jadinya. Banyak orang yang mengerumuni kami. Ada juga yang mengejar mobil yang kabur tadi.
Akhirnya Akbar terbangun, tubuhnya masih diselimuti darah dan bahkan darah itu masih terus keluar dari tubuhnya.
“Tari,” panggil Akbar. “Iya?” jawabku. “Kamu ga apa-apa?” “Kamu kenapa masih pikirin aku sih. Kamu sekarang terluka parah. Kamu itu udah nyelamatin aku tadi. Dan sekarang kamu harus bertahan demi aku..yaa” isakku.
“Tari, aku minta maaf sama kamu. Aku ga bisa jaga kamu. Aku udah nyakitin kamu dengan melarang kamu untuk pacaran sama Gio,” ucap Akbar terbata-bata karena mulutnya pun dipenuhi oleh darah yang terus mengucur. “Ukhh..Kamu harus jaga diri kamu. Dan..ukhh! Lani, makasih juga kamu harus jaga diri, ngerti? Aku sayang kalian. Kalian adalah sahabat terbaikku..ukh!!” lanjut Akbar dan ternyata itu adalah kalimat terakhir Akbar sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya dengan menyunggingkan senyumnya.
“Akbaaaaarrrr.....!” teriakku dan Lani. Kami menangis dan teriak sejadi-jadinya. “Akbar bangun. Kamu ga boleh ninggalin kita. Aku sama Tari masih butuh kamu. Kalau kamu pergi siapa yang akan jaga kita berdua? Akbaaaaaarrr....!” isak Lani.
---
Keesokan harinya Akbar dimakamkan di sebelah makam ibunya. Aku dan Lani, kami semua masih tidak percaya jika Akbar sekarang sudah meninggalkan kami semua di sini.
“Tari, ayo nak kita pulang,” ajak Mamahku.
“Mah, aku ingin mampir ke rumah Akbar sebentar. Boleh yaa?” pintaku yang masih berlinangan air mata. “Baiklah sayang,” jawab Mamah.
Akhirnya setelah pamit pada orangtua kami dan juga telah meminta ijin pada Papahnya Akbar, Aku dan Lani mendatangi kamar Akbar. Di sana masih terpajang rapih foto-foto kami bertiga. Tak terasa air mataku menetes lagi membasahi pipiku yang tirus ini.
“Tari, sebenarnya sebelum kita pulang waktu itu Akbar sempat bicara sama aku,” tukas Lani.
“Bicara apa?” tanyaku penasaran.
“Begini, sebenarnya Akbar tidak marah sama kamu cuma dia ga mau deketin kamu karena dia takut dia bakalan emosi lagi sama kamu. Akbar ga mau nyakitin kamu,”
“Jadi itu alasannya jauhin aku?” tanyaku memotong kalimat Lani.
“Iya, dan tepat hari dimana dia tertabrak itu. Sebelumnya dia sempat mendengar Julie akan mengajak kamu dan Gio makan bersama lalu ia akan meracuni kamu sehingga nantinya kamu akan terbunuh. Jadi, saat itu Akbar putusin buat ga jauhin kamu lagi dan mengajak kamu pulang bersama supaya kamu ga pulang sama Gio. Tetapi ternyata Julie juga udah tau rencana Akbar sehingga saat kita pulang ia membuntuti kita dan tepat ketika kita menyebrang jalan, ia berkesempatan untuk menarik gasnya dengan kecepatan tinggi. Tujuannya adalah agar kamu tertabrak,” ujar Lani.
“Dan pada akhirnya Akbar merelakan dirinya menggantikan posisiku saat itu sehingga ia yang tertabrak? Dan yang menabraknya adalah Julie? Kenapa dia melakukan semua itu? Kenapa Dia harus merelakan nyawanya demi menyelamatkanku?” isakku tak percaya.
“Itu semua karena dia suka kamu. Dia menyayangi kamu lebih dari sahabat, Tar,” jawab Lani.
Aku semakin terkejut saat Lani bilang Akbar menyukaiku. Aku bangkit dan segera berlari ke makam Akbar. Hujan menemani langkahku saat berlari. Lani mengejarku.
“Akbar, kamu jahat! Kamu ga pernah kasih tau aku kalo kamu suka sama aku. Kamu bodoh! Kenapa kamu harus serahin nyawa kamu demi aku? Padahal jelas-jelas aku udah nyakitin kamu. Kamu bodoh Akbar!! Kamu bodoh. Bodoh.” teriakku di depan makam Akbar yang masih basah itu. Hujan terus turun mengguyur kami.
“Tar, udah. Akbar pasti ngerti,” ucap Lani menenangkanku.
Dengan air mata yang terus mengalir tanpa henti dan rintikan hujan deras aku memeluk nisan Akbar, “Akbar, maafin aku selama ini aku udah nyakitin kamu. Aku ga bisa balas perasaan kamu. Dan aku nyesel ga dengerin kata-kata kamu. Kalau saja saat itu aku dengerin kamu supaya jauhin Gio kamu pasti masih ada disini sama kita. Masih bisa main sama kita. Aku nyesel, Bar. Aku ga percaya keegoisan aku buat deket sama Gio malah bikin kamu pergi selamanya dari sisi kita. Aku sayang kamu, Akbar. Maafin aku,” ucapku lalu mencium nisan Akbar.
“Tar, kita harus ikhlas, yaa?” ujar Lani.
Saat itu hujan tak hentinya turun. Dan dibalik derasnya hujan itu terlihat bayangan orang tersenyum memandangku. Lalu ia melambaikan tangan ke arahku. Dan bayangan itu adalah.... AKBAR!!!
*Siswi SMAN 1 Lemahabang Kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat
0 komentar:
Posting Komentar